Kolom Desa

Tradisi Cowongan, Ritual Boneka Mistis Pengundang Hujan Asal Banyumas

Pertunjukan seni budaya Cowongan di Kecamatan Karanglewas, Banyumas, Minggu (17/9/2023). Sumber: @kec_karanglewas

Kolomdesa.com, Banyumas – Indonesia memiliki kekayaan budaya yang meliputi berbagai tradisi unik yang terus dijaga hingga saat ini. Salah satu contohnya adalah tradisi Cowongan, sebuah ritual kuno dari Banyumas, Jawa Tengah, yang memiliki keistimewaan tersendiri dan menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat di sana.

Cowongan memiliki arti blepotan pada wajah, dengan media boneka yang dirasuki bidadari dipercaya dapat memanggil hujan. Cowongan adalah bentuk ritual budaya pada jaman dahulu yang dilakukan masyarakat Banyumas dengan maksud mengundang hujan. Seperti yang pernah melanda pada para petani di Desa Plana, Kecamatan Somagede.

“Dahulu kala penduduk Desa Plana mengalami kemarau panjang yang mengakibatkan penduduk di sini kesulitan mencari pangan bahkan air pun juga susuah didapatkan. sampai bapak-bapak berkelahi merebutkan air dan setelah itu, ibu-ibunya berembuk bersama memohon kepada yang maha kuasa dengan sarana ritual Cowongan agar diturunkan hujan,” kata Prayitno, anggota Komunitas Padepokan Seni Banyu Biru Desa Plana saat diwawancarai Kolom Desa pada Selasa (13/11/2024).

Upacara Cowongan dilaksanakan untuk memanggil bidadari agar membantu mendatangkan hujan dari langit. Kini, selain menjadi ritual adat masyarakat Banyumasan, Cowongan juga sering ditampilkan sebagai seni pertunjukan sekaligus simbol kehidupan, yang menggambarkan betapa sulitnya membedakan antara manusia dan iblis.

“Pada saat ini tradisi Cowongan kalau ritualnya sudah jarang dilaksanakan karena di Desa Plana jarang terjadi kemarau pandang dan otomatis ritual Cowongan ini juga dapat berbenturan dengan ajaran Islam tapi kami tetap memperkenalkan Cowongan dengan bentuk sajian seni,” jelasnya.

Pelaksanaan Cowongan biasanya dilakukan dalam jumlah ganjil, seperti 1 kali, 3 kali, 5 kali, atau 7 kali. Jika pada pelaksanaan pertama hujan belum turun, ritual akan dilanjutkan sebanyak 3 kali, dan seterusnya hingga hujan turun.

Para pelaku cowongan memandang cowongan sebagai lambang permohonan sekaligus wujud pengabdian terhadap warisan budaya leluhur. Mereka melaksanakan ritual cowongan dengan penuh keikhlasan, niat yang murni, dan tanpa paksaan, karena cowongan dianggap sebagai sesuatu yang sakral.

“Tradisi Cowongan mengandung makna dan filosofi yang mendalam yaitu kebersamaan, keikhlasan dan kasih sayang. Ritual ini bukan sekadar permohonan hujan, tetapi juga merupakan bentuk penghormatan terhadap alam dan leluhur,” imbuhnya.

Ritual cowongan biasanya dilakukan selama musim kemarau yang berkepanjangan. Umumnya dimulai pada akhir masa kapat (salah satu periode dalam kalender Jawa), yang kira-kira jatuh pada bulan September.

“Sedangkan pemain atau pelaku ritual cowongan adalah ibu-ibu yang sudah menpouse dengan jumlah paling sedikit sebanyak lima orang atau jumlah ganjil. Boneka yang digunakan menggambarkan Dewi Sri atau Dewi Padi, ada juga yang menyebutnya Dewi Kesuburan,” jelas Prayitno.

Masyarakat meyakini bahwa melestarikan tradisi ini membantu mereka hidup selaras dengan alam serta memperoleh perlindungan dari kekuatan gaib. Oleh karena itu, meskipun zaman terus berkembang, tradisi Cowongan tetap dijaga oleh masyarakat Banyumas.

Cowongan saat ini kerap diselenggarakan dalam bentuk pertunjukan seni budaya, lomba pembuatan cowong, serta melibatkan generasi muda dalam prosesnya. Upacara Cowongan tidak hanya diminati oleh masyarakat setempat, tetapi juga menjadi daya tarik bagi wisatawan. Banyak wisatawan yang tertarik dan ingin melihat secara langsung pelaksanaan ritual ini.

Tradisi Cowongan, Ritual Boneka Mistis Pengundang Hujan Asal Banyumas
Boneka Cowongan. Sumber: Shutterstock

Sejarah Cowongan

Tradisi Cowongan telah dilakukan secara turun-temurun sebagai wujud permohonan kepada Sang Pencipta untuk mendatangkan hujan, terutama di tengah musim kemarau panjang. Diketahui, ritual ini telah ada sejak zaman dahulu dan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

“Kalau melihat mantra atau kidung yang dilantunkan saat ritual, tradisi Cowongan telah ada sebelum agama Islam masuk di Indonesia. Pada tahun 1980an, ritual Cowongan hampir hilang.” kata Prayitno.

Dalam masyarakat agraris, hujan memegang peranan yang sangat vital untuk kelangsungan hidup dan kesuburan tanah. Cowongan, yang dulu dilakukan oleh masyarakat Cilacap, Banyumas, dan daerah sekitarnya, adalah salah satu ritual untuk memohon agar hujan turun ketika musim kemarau berlangsung lama.

Dikisahkan bahwa pada saat terjadi kemarau panjang, sepasang suami istri yang sudah sangat lanjut usia, Ki Jayaraga dan Nyi Jayaraga, melakukan tirakat selama 40 hari 40 malam untuk memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa agar hujan segera turun.

Setelah masa tirakat selesai, mereka menerima petunjuk untuk segera mengambil siwur yang terbuat dari batok kelapa di rumah seorang warga, yang di dalamnya terdapat tiga orang janda. Tak lama setelah satu malam berlalu, siwur itu berbicara kepada Nyi Jayaraga, memintanya untuk didandani seperti wanita dan dipanggil dengan nama Nini Cowong.

Selanjutnya, Nini Cowong meminta Ki Jayaraga dan istrinya untuk menggoyangkan tubuh mereka sambil menyanyikan lagu Siwur Tukung. Setelah lagu tersebut selesai, terdengar petir yang sangat keras dan hujan turun deras selama tujuh hari tujuh malam.

Saat ini, pelaksanaan tradisi Cowongan tidak hanya berupa ritual semata, tetapi juga digabungkan dengan gerakan dan lagu, dilengkapi dengan iringan musik, sehingga menghasilkan sebuah pertunjukan seni yang unik dan menarik.

Cowongan memiliki hubungan yang erat dalam menumbuhkan nilai-nilai antara petani, alam, dan Tuhan. Tradisi Cowongan merupakan warisan budaya yang sangat berharga bagi masyarakat Banyumas. Ritual yang khas ini tidak hanya mengandung nilai religius, tetapi juga memiliki nilai sosial dan budaya yang sangat penting.

Pertunjukan seni budaya Cowongan di lapangan Mersi, Banyumas, Senin (11/12/2023)

Prosesi Upacara Cowongan

Upacara Cowongan dilaksanakan dengan pertunjukan seni dari berbagai seniman, yang diperkaya dengan hiasan-hiasan dari hasil bumi. Para petani dan kelompok arak-arakan membawa boneka Cowongan yang berisi bidadari, yang berperan sebagai simbol utusan dewa yang akan memanggil turunnya hujan.

“Prosesi ritual cowongan sebenarnya sangat panjang. Mulai dari menyiapkan alat peraga cowongan yang terbuat dari irus atau sendok sayur yang harus diambil dari rumah yang terdapat jandanya tiga orang. Selanjutnya menyiapkan sesaji dan setelah semuanya siap, mulai malam Jumat Kliwon dilakukanlah upacara ritual cowongan dengan hitungan hari ganjil sampai dengan turun hujan,” ujar Parayitno.

Proses tersebut diteruskan dengan sebuah upacara pertunjukan yang dimulai dengan keramaian orang sebagai simbol kehidupan. Pertunjukan ini biasanya dilakukan di lapangan, di mana orang tua yang kebingungan mencari hasil pertanian yang hilang akibat musim kemarau yang panjang.

Selanjutnya, pembacaan mantra-mantra leluhur dilakukan untuk memanggil bidadari, yang dipandu dan diiringi oleh para punggawa. Selain itu, muncul pula rombongan yang melambangkan penghuni alam gaib sebagai akibat dari kemarau panjang.

Dalam pertunjukan tersebut, para penghuni alam gaib mengajukan usulan kepada sang dewa untuk segera menurunkan hujan agar mereka dapat melaksanakan tugas mengganggu manusia. Hal ini karena jika manusia kekurangan air, mereka akan musnah dari bumi.

Kehadiran alam gaib, bidadari, manusia, dan berbagai makhluk hidup lainnya menggambarkan nilai saling berdampingan dalam kehidupan. Selanjutnya, hujan turun yang digambarkan dengan sorak-sorai dan kegembiraan warga menyambut tumbuhnya tanaman untuk keberlanjutan hidup generasi berikutnya.

Editor: Mukhlis

Exit mobile version