Kolom Desa

Mepe Kasur, Tradisi Bersih Desa yang Menghidupkan Warisan Leluhur Osing

Tradisi mepe kasur suku osing Banyuwangi. Sumber: Banyuwangikab.go.id

Kolomdesa.com, Banyuwangi – Setiap menjelang Hari Raya Idul Adha, Suku Osing di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi melaksanakan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, yaitu Mepe Kasur. Dalam bahasa Indonesia, Mepe Kasur berarti menjemur kasur. Tradisi ini biasanya dilakukan pada tanggal 1 Dzulhijah dan menjadi bagian penting dari ritual bersih desa, yang bertujuan untuk membersihkan secara spiritual dan simbolis kehidupan masyarakat desa.

Pada hari pelaksanaan tradisi Mepe Kasur, sejak pagi hingga sore hari, seluruh warga desa secara serentak menjemur kasur mereka di depan rumah masing-masing. Kasur-kasur yang dijemur ini umumnya terbuat dari bahan-bahan alami seperti kapuk atau kapas, yang pada zaman dahulu menjadi material utama untuk kasur tradisional. Jemur kasur ini bukan hanya sekadar aktivitas membersihkan fisik, tetapi juga memiliki makna spiritual sebagai upaya mengusir energi negatif dan mendatangkan berkah bagi penghuni rumah.

Setelah kegiatan Mepe Kasur selesai, ritual dilanjutkan pada malam harinya dengan acara Tumpeng Sewu. Dalam ritual ini, setiap keluarga menyiapkan tumpeng yang kemudian dibawa keluar rumah untuk dimakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Ritual Tumpeng Sewu melambangkan kebersamaan dan rasa syukur masyarakat atas rezeki yang telah diterima, serta doa untuk keberkahan di masa depan. Kombinasi antara Mepe Kasur dan Tumpeng Sewu menggambarkan harmoni antara kebersihan fisik dan spiritual, serta semangat kebersamaan yang masih terjaga kuat di kalangan masyarakat Osing.

“Sebagai generasi muda, kami merasa bangga bisa terus melestarikan tradisi Mepe Kasur yang sudah diwariskan oleh leluhur. Bagi kami, ini bukan hanya soal mengikuti ritual, tapi memahami makna di baliknya. Mepe Kasur, arak-arakan Barong, hingga selamatan Tumpeng Sewu mengajarkan kami tentang pentingnya menjaga kebersamaan, menghormati leluhur, dan memohon perlindungan serta berkah untuk masa depan desa. Di tengah perkembangan zaman, tradisi ini menjadi pengingat bahwa identitas dan akar budaya kami harus tetap kuat, dan itu adalah tanggung jawab kami sebagai pemuda Osing,” ungkap Ainul Yaqin Pemuda Osing Banyuwangi.

Mepe Kasur, Tradisi Bersih Desa yang Menghidupkan Warisan Leluhur Osing
Tampak kasur warna merah hitam dalam tradisi mepe kasur. Sumber: Superlive.id

Keunikan Tradisi Mepe Kasur Banyuwangi

Salah satu keunikan yang menjadi daya tarik dari tradisi Mepe Kasur di Desa Kemiren adalah kasur-kasur yang dijemur oleh warga memiliki warna seragam, yaitu kombinasi merah dan hitam. Warna-warna ini tidak dipilih secara sembarangan, melainkan mengandung filosofi mendalam yang mencerminkan nilai-nilai kehidupan masyarakat Osing.

Warna hitam dalam tradisi ini memiliki arti kelanggengan atau keabadian. Dalam pandangan masyarakat Osing, warna hitam melambangkan kekuatan dan keteguhan, simbol bahwa hubungan antara manusia dengan lingkungannya, alam, dan leluhur harus dijaga secara abadi. Filosofi ini menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai warisan budaya serta keberlangsungan adat-istiadat yang telah turun temurun.

Sementara itu, warna merah melambangkan keberanian. Warna ini mencerminkan semangat yang berani dan pantang menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Bagi masyarakat Osing, keberanian tidak hanya ditunjukkan dalam arti fisik, tetapi juga dalam aspek spiritual. Keberanian untuk terus mempertahankan tradisi dan identitas budaya mereka, meskipun di tengah arus modernisasi yang semakin kuat, menjadi inti dari filosofi ini. Merah juga dianggap sebagai lambang energi dan vitalitas, yang diharapkan membawa kekuatan untuk menghadapi masa depan.

Selain warna, ukuran kasur yang dijemur oleh masing-masing warga juga menjadi simbol status sosial di dalam desa. Kasur-kasur yang dijemur memiliki ukuran yang beragam, dari yang tipis hingga yang sangat tebal. Semakin tebal kasur yang dijemur, semakin menunjukkan bahwa pemiliknya adalah orang yang cukup berada di desa tersebut. Kasur tebal ini melambangkan kemakmuran dan keberhasilan ekonomi, sebuah kebanggaan yang secara halus dipertunjukkan saat tradisi Mepe Kasur berlangsung.

Namun, tradisi ini bukan hanya soal menunjukkan status sosial, melainkan juga tentang kebersamaan dan kesetaraan. Meski ukuran kasur berbeda-beda, semua kasur tetap dijemur bersama-sama di depan rumah, di bawah matahari yang sama, dalam waktu yang sama. Ini menegaskan bahwa meskipun ada perbedaan dalam hal materi, setiap warga desa tetap dipersatukan dalam kebersamaan dan tujuan yang sama, yaitu membersihkan dan menyucikan desa serta mempersiapkan diri secara spiritual menjelang Hari Raya Idul Adha. Tradisi Mepe Kasur tidak hanya menjadi simbol kebersihan, tetapi juga merefleksikan nilai-nilai kehidupan yang dalam, seperti kelanggengan, keberanian, dan persaudaraan.

Sesaji dalam tradisi mepe kasur. Sumber: Superlive.id

Tahapan Pelaksanaan Tradisi Mepe Kasur Banyuwangi

Setelah menyelesaikan prosesi menjemur kasur dalam tradisi Mepe Kasur, warga Suku Osing di Desa Kemiren tidak berhenti di situ. Tradisi bersih desa ini berlanjut dengan tahapan yang lebih meriah dan sarat akan makna spiritual, yaitu arak-arakan Barong. Arak-arakan ini dimulai setelah kasur-kasur yang dijemur sejak pagi telah diambil dan dikembalikan ke dalam rumah masing-masing pada sore hari. Prosesi ini menggambarkan perpaduan antara budaya, kepercayaan spiritual, serta penghormatan terhadap leluhur yang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat Osing.

Barong yang diarak dalam prosesi ini bukanlah sekadar boneka besar, tetapi simbol perlindungan dan kekuatan yang dipercaya oleh masyarakat Osing mampu mengusir roh-roh jahat serta membawa keberkahan bagi desa. Sosok Barong dalam tradisi Osing menyerupai seekor hewan mistis dengan wujud singa yang diarak oleh sekelompok warga. Arak-arakan dimulai dari ujung desa, diiringi tabuhan musik tradisional, dan *Barong* diarak menyusuri seluruh desa menuju batas akhir desa. Prosesi ini dilakukan dengan khidmat, penuh rasa hormat, dan diikuti oleh warga dengan harapan agar desa tetap terlindungi dari segala macam gangguan, baik fisik maupun spiritual.

Setelah arak-arakan Barong mencapai batas desa, warga kemudian melanjutkan ritual dengan melakukan ziarah ke Makam Buyut Cili, yang diyakini sebagai leluhur dan pendiri Desa Kemiren. Ziarah ini memiliki arti yang sangat penting bagi masyarakat Osing, karena mereka percaya bahwa dengan menghormati Buyut Cili, mereka juga menghormati sejarah dan asal-usul keberadaan mereka sebagai masyarakat desa. Di makam tersebut, warga memanjatkan doa bersama, memohon perlindungan dan kesejahteraan bagi desa dan seluruh warganya. Ziarah ini menjadi momentum bagi warga untuk merenung dan mengingat jasa-jasa leluhur yang telah memberikan mereka warisan budaya serta kehidupan yang damai hingga saat ini.

Setelah ziarah selesai, tibalah pada puncak dari rangkaian tradisi bersih desa ini, yaitu acara selamatan Tumpeng Sewu yang digelar pada malam hari. Acara ini merupakan momen yang dinanti-nantikan oleh seluruh warga desa, di mana kebersamaan dan rasa syukur diwujudkan dalam bentuk ritual makan bersama. Setiap keluarga di desa menyiapkan tumpeng khas yang dikenal dengan pecel pitik, yaitu tumpeng yang disajikan dengan lauk ayam panggang yang dibalut parutan kelapa. Ayam yang digunakan dalam pecel pitik dimasak secara tradisional dengan dibakar, menciptakan cita rasa yang khas dan harum. Parutan kelapa yang membalut daging ayam memberikan rasa gurih yang lezat dan menjadi ciri khas masakan Osing yang kaya akan rempah-rempah.

Acara Tumpeng Sewu dilaksanakan dengan penuh kebersamaan. Setiap keluarga membawa tumpeng keluar rumah dan meletakkannya di depan rumah mereka. Ketika semua tumpeng telah tersaji, warga berkumpul untuk menikmati hidangan bersama-sama. Makan bersama ini bukan hanya sekadar menyantap hidangan, tetapi juga simbol dari rasa syukur kepada Tuhan atas berkah yang telah diterima sepanjang tahun. Selain itu, Tumpeng Sewu juga melambangkan kebersamaan dan solidaritas di antara warga desa, tanpa memandang status sosial atau ekonomi. Semua warga, baik yang kaya maupun yang sederhana, duduk bersama dan berbagi makanan dalam suasana penuh keakraban.

Tradisi Mepe Kasur, arak-arakan Barong, ziarah ke makam leluhur, dan puncaknya Tumpeng Sewu, adalah rangkaian ritual yang memadukan kebersihan fisik, penghormatan kepada leluhur, dan rasa syukur yang mendalam. Seluruh tahapan ini mencerminkan betapa kuatnya ikatan antara masyarakat Osing dengan tradisi mereka, sekaligus menjadi cerminan dari keharmonisan hidup yang mereka junjung tinggi. Tradisi ini terus berlangsung hingga kini, menjaga warisan leluhur yang berharga dan mengingatkan setiap generasi akan pentingnya menjaga keseimbangan antara kehidupan spiritual, sosial, dan budaya.

Exit mobile version