Berhadap-hadapan dengan Iblis: Peringatan 9 Tahun Salim Kancil

Sewindu Salim Kancil. Ilustrasi: suser_digitalart
Sewindu Salim Kancil. Ilustrasi: suser_digitalart
Pagi, 26 September 2015. Dio Eka Saputra, 13 tahun, putra bungsu Salim Kancil, baru saja selesai cuci muka dan membantu Salim yang berusaha mengeluarkan sepeda motornya. Sesaat kemudian, Dio menyaksikan gerombolan orang-orang menghajar bapaknya beramai-ramai.

Pengantar Editorial: 9 Tahun Salim Kancil

oleh Rizal Kurniawan (Editor di Kolomdesa.com)

Mau tak mau, isu lingkungan masih menjadi tema yang serius untuk diperbincangkan dalam tahap lanjut. Ragam perlawanan masyarakat akar rumput, konflik horizontal, dalih investasi, represifitas negara, dan polemik kepentingan kerap menjalari pembicaraan terkait bagaimana seharusnya keberlanjutan ruang layak hidup direbut dan diupayakan.

Bulan September ini, adalah tepat 9 tahun Salim Kancil wafat. Ia mati karena dihajar dan dianiaya oleh orang-orang yang merasa terganggu dengan penolakannya terhadap praktik tambang pasir ilegal di desa Selok Awar-awar, Kabupaten Lumajang.

Meninggalnya Salim Kancil menambah deretan daftar panjang orang-orang yang mangkat sebagai martir sebab perlawanan yang ia lakukan. Tragedi Salim Kancil juga ikut mempertegas bahwa Negara khianat terhadap amanat konstitusi dan gagal menjamin hak kemerdekaan dan keamanan fisik warganya.

Kali ini, dengan berbangga kami menghadirkan produk indepth journalism yang memuat cerita heroik Salim Kancil. Sebagai informasi, tulisan ini pernah dimuat di Kalatida tahun 2016 dengan judul yang sama. Dimuat ulang dan disunting beberapa bagian oleh Kolomdesa.com atas persetujuan penulis, Hari Wibowo.


LUMAJANG – SUARA Tijah bergetar selepas mendengar vonis yang dibacakan hakim untuk otak pembunuhan suaminya, Salim Kancil, di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis 23 Juni 2016. Sebagai dedengkot pembunuhan dan pimpinan eksekusi, hukuman dua puluh tahun penjara yang dijatuhkan kepada Hariyono dan Mat Dasir dinilai Tijah sama sekali tak adil.

“Sangat kecewa kalau hukumannya cuma segitu. Enak saja. Suami saya? Mati. Saya tidak terima, tidak rela, tidak rida kalau kena hukuman cuma dua puluh tahun,” kata Tijah memberontak.

Putusan hari itu adalah akhir dari rangkaian sidang sejak 18 Februari 2016 dengan terdakwa Hariyono dan Mat Dasir. Keduanya didakwa melakukan pembunuhan berencana dan pengeroyokan terhadap Salim Kancil (46 tahun), dan Tosan (51 tahun), pada 26 September 2015.

Tragedi tragis tersebut terjadi di Desa Selok Awar-Awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang. Domisili korban dan pelaku. Salim Kancil tewas dengan luka berat, sedangkan Tosan luka parah tetapi berhasil selamat.

Kematian Salim Kancil di jalan pemakaman Desa, sebuah pelosok yang berjarak sekitar 180 kilometar dari Surabaya ini segera menjadi berita nasional. Selain karena kekejaman penganiayaan yang dilakukan lebih dari lima puluh orang, kematian Salim mengisyaratkan betapa penambangan pasir liar adalah kejahatan besar dan merugikan.

Kasus kematian karena konflik agraria ini mengemuka di tengah konflik agraria lain yang juga sedang memanas kala itu, yakni antara petani di Pegunungan Kendeng Selatan, Rembang, Jawa Tengah, berhadapan dengan PT Semen Indonesia.

“Kalau bukan berkah dari Almarhum Salim Kancil, mungkin tidak akan ada pejabat penting yang jauh-jauh dari Jakarta datang ke Desa Selok Awar-Awar,” ujar Bupati Lumajang As’at Malik dalam peringatan 100 hari meninggalnya Salim. Pejabat yang dimaksud saat itu ialah Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Marwan Jafar.

Peringatan seratus hari itu digelar pada 3 Januari 2016, bertempat di Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-awar. Ratusan warga berbondong-bondong mengikuti acara istigasah dan pembacaan doa. Penanaman pohon bersama juga dilakukan di lahan bekas tambang.

Dalam acara tersebut, Marwan berbelasungkawa dan mengatakan, “Pak Salim saya kira layak mendapatkan penghargaan sebagai pejuang lingkungan di desa,” terangnya.

Sebelumnya, Bupati As’at pun sempat menyampaikan, tragedi Salim bak pepatah sengsara yang membawa nikmat bagi Lumajang. Selepas pengeroyokan tersebut, kata As’at, pendapatan pajak Lumajang dari sektor penambangan justru mengalami peningkatan yang angkanya cukup fantastis. Agak ironis, tapi begitulah kenyataannya.

Menurut As’at, hingga 31 Desember 2015, penerimaan bahan galian C Lumajang meraup Rp 1,1 miliar. Padahal sebelum terjadinya peristiwa Salim Kancil, penerimaan pajak pasir cuma berkisar Rp 49 juta. Lonjakan tersebut juga dapat terjadi karena adanya penertiban penambangan liar yang beroperasi.

Setelah hari nahas itu, Pemerintah Lumajang memang menutup penambangan pasir dan baru membuka kembali pada November 2015.

“Dari 58 izin penambangan, hanya 18 penambang yang boleh beroperasi sesuai dengan rekomendasi Pemerintah Provinsi Jatim. 18 penambang tersebut bisa dikendalikan secara efektif sehingga tiap bulan bisa menyetor pajak Rp 1 milliar,” jelasnya.

 

Kronologi Kematian Salim Kancil dan Motif Pembunuhannya

PAGI, 26 September 2015. Dio Eka Saputra, 13 tahun, putra bungsu Salim Kancil, baru saja selesai cuci muka dan membantu Salim yang berusaha mengeluarkan sepeda motornya. Sesaat kemudian, Dio menyaksikan gerombolan orang-orang menghajar bapaknya beramai-ramai.

Para begundal tersebut pada akhirnya dikenal sebagai ‘Tim 12’, sebuah tim bentukan Hariyono. Kelompok yang sesungguhnya beranggotakan lebih dari 12 orang itu mengawal Hariyono sejak mencalonkan diri sebagai Kepala Desa Selok Awar-Awar.

Pada hari nahas itu, Tim 12 secara bertubi-tubi mendaratkan pentungan, balok kayu, celurit ke wajah dan tubuh Salim. Dio menjerit menyaksikan bapaknya disiksa. Sempat berlari ke halaman rumah namun tidak ada satu pun tetangga yang berusaha membantu. Dia akhirnya hanya bisa menangis keras-keras. “Diam kamu. Atau saya bunuh!” ancam salah satu algojo, Dio menirukan gesturnya.

Tidak puas sampai di situ, menggunakan sepotong tali, Tim 12 menyeret Salim dari rumahnya ke Balai Desa. Di sana, penyiksaan yang dilakukan Tim 12 bahkan lebih ganas. Mereka memukuli kepala dan perut, menyetrum punggung, hingga menggregaji leher Salim.

Kali ini, penyiksaan berlangsung di hadapan puluhan murid Taman Kanak-kanak Dharma Wanita yang hendak masuk kelas. Pemandangan tak lazim tersebut menjelma tangis bocah-bocah, mereka berteriak sejadi-jadinya.

Nyaris setengah jam Salim disiksa di Balai Desa, sebelum kemudian diangkut ke jalan sepi dekat kuburan desa. Tidak lama kemudian Salim tewas di jalan tersebut dengan perut robek dan kepala remuk. Posisi Salim ketika itu tengkurap, di sekitarnya ada lebih dari tiga batu seukuran kepalan tangan orang dewasa. Salim mangkat sebagai martir.

Pada persidangan di Pengadilan Negeri Surabaya, Widiyanto, salah satu penyiksa, mengakui terlibat dalam pemukulan Salim atas instruksi dari Mat Dasir. Alat yang digunakan oleh Widiyanto adalah celurit. Dia melesakkan senjata tajam itu tepat ke leher Salim. Namun, kata Widiyanto, tubuh Salim yang kebal membuat senjatanya tumpul.

Widiyanto berpendapat, motif pengeroyokan tersebut karena Salim selalu menghambat keinginan kepala desa yang hendak menjadikan Pantai Watu Pecak sebagai kawasan wisata. Bentuk hambatan itu, lanjut Widiyanto, antara lain menyurati kecamatan, Polsek setempat, Pemerintah Daerah Lumajang. Selain itu Salim dan temannya juga kerap berdemo di kawasan pertambangan, di jalanan hingga di kantor desa.

 

Tosan dan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Selok Awar-Awar

TOSAN sibuk menggelar tikar di kegiatan peringatan seratus hari gugurnya Salim Kancil di Pantai Watu Pecak, ketika saya bertemu untuk yang pertama kalinya. Di acara itu, ia dipercaya sebagai ketua panitia. Saya perhatikan, Tosan tampak bersemangat memberikan arahan kepada panitia lainnya agar acara berjalan dengan lancar.

Di sela-sela acara, saya berusaha bicara dengannya. Matanya menyelidik. Ia tampak awas memperhatikan penampilan saya. Saya mengerti ada beberapa lembaga yang menyarankan Tosan untuk tidak terlalu terbuka bicara kepada orang yang belum dikenal benar. Namun setelah saya mencoba menjelaskan identitas–dengan bahasa Madura tentunya–, Tosan bersedia bicara dengan lebih leluasa.

Tambang pasir di Lumajang, kata Tosan, mulai ditambang sejak tahun 2011. “Tapi dikeruk besar-besaran sejak awal tahun 2015,” jelasnya. Ketika ditanya siapa yang secara besar-besaran menambang pasir di Selok Awar-Awar, lelaki berusia 53 tahun itu menjawab dengan lugas. “Siapa lagi kalau bukan kepala desa? Tidak ada lagi selain dia.”

Atas dasar penambangan besar-besaran itu pulalah Tosan dan kawan-kawan termasuk Salim Kancil, memprakarsai Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir Selok Awar-Awar (FKMPP) itu. FKMPP terbentuk pada tanggal 12 Mei 2015, dan Tosan didaulat sebagai ketua.

FKMPP kemudian aktif menggalang kekuatan dengan mengajak warga sekitar untuk turut serta dalam memperjuangkan penolakan tambang. Kegiatan FKMPP antara lain menyebarkan selebaran yang pokok isinya adalah betapa pengerukan pasir begitu berbahaya terhadap lingkungan, terhadap masa depan anak-anak Selok Awar-Awar.

Dengan dimulainya kegiatan FKMPP, telinga para penambang pasir terusik. Tidak terhitung anggota FKMPP kemudian diteror pembunuhan, dari mulai yang berbentuk mental hingga fisik, dari yang sifatnya desas-desus hingga langsung disampaikan baik ke Tosan maupun ke Salim. Dari hari ke hari, teror itu kian datang tak berkesudahan.

Pada Juni 2015, secara resmi FKMPP menyurati Bupati Lumajang As’at Malik untuk memperhatikan pertambangan di Pantai Watu Pecak. Namun menurut Tosan yang mengantar surat tersebut, tidak ada respon yang meyakinkan tuntutan akan dipenuhi oleh Bupati. Hingga bulan September, teror dan ancaman pembunuhan terhadap anggota FKMPP itu semakin nyata.

Tanggal 8 September 2015, FKMPP diundang Camat Pasirian untuk berembuk mencari jalan keluar tentang konflik pertambangan. Selain pejabat terkait, Kepala Desa Selok Awar-awar juga dihadirkan sebagai pihak yang berseberangan. Hasilnya: buntu. Tidak ada kesepakatan apapun antara FKMPP dan Kepala Desa Selok Awar-awar.

Namun keesokan harinya, 9 September, surat pernyataan untuk penghentian penambangan pasir di Pantai Watu Pecak turun dari Kepala Desa Hariyono. Berbekal surat pernyataan tersebut, FKMPP lantas membuat keputusan melakukan aksi damai dengan cara menghadang truk-truk pengangkut pasir. Segera setelah berhenti, bagian bak truk-truk itu pun ditempeli kertas ukuran besar yang ditulisi “Hentikan Tambang Pasir di Watu Pecak”, “Tambang Merusak Lingkungan”.

Di luar surat, mendengar aksi penghadangan truk, Tim 12 mengancam akan membunuh seluruh anggota FKMPP termasuk Tosan. “Mungkin karena tidak senang, saya diancam oleh beberapa anak buah Mat Dasir. Hendak dibunuh,” kata Tosan.

Didasari niat yang sejak mula berupa aksi damai, Tosan kemudian menjawab ancaman pembunuhan tersebut dengan melapor ke Polres Lumajang. Saat itu laporannya diterima oleh oleh Kasat Reskrim Lumajang, Heri.

Hasilnya: Kasat menjamin akan merespon laporan Tosan. Namun pada 20 September 2015, atau 11 hari setelah penambangan pasir ditutup, Kepala Desa Hariyono memutuskan untuk membuka kembali bisnis pasir tersebut. Pertimbangannya, kata dia di persidangan, kelompok pro-pertambangan yang meminta.

Mendengar dengan dibukanya kembali area pertambangan, FKMPP lantas keberatan dan mengajukan surat kepada Polsek setempat dengan bunyi: aparat desa melakukan penambangan pasir ilegal di lahan hutan lindung milik Perhutani itu.

Kelompok pro pertambangan semakin geram mendengar laporan tersebut. Kelompok yang diketuai Mat Dasir ini mengancam akan membunuh Salim dan Tosan serta anggota FKMPP yang lain.

Mat Dasir: Kaki Tangan Hariyono dan Pimpinan Algojo Pembunuhan Salim Kancil

TINGGI tubuh Mat Dasir alias Abdul Holek bin Aswar hanya sekitar 165 centimeter. Kulitnya legam. Kumisnya yang tebal membuat wajahnya seperti lakon antagonis dalam film-film mafia. Lelaki berdarah Madura ini dikenal punya lebih dari dua puluh saudara yang tersebar di seluruh Selok Awar-Awar.

Selain ditugasi memimpin Tim 12, Mat Dasir juga dipercaya menjadi Ketua LMDH untuk Selok Awar-awar. Dalam kesaksian Widiyanto di persidangan, dia juga dipercaya untuk memimpin keamanan bagi penambangan pasir di Pantai Watu Pecak atas kendali Hariyono.

Hariyono, Kepala Desa Selok Awar-Awar dua periode itu (2006-2012 dan 2013-2019) mengatakan penambangan yang dilakukannya bertujuan untuk membangun pariwisata desa. Keputusan tersebut dibuat atas dasar panorama Pantai Watu Pecak yang dinilai potensial. Namun karena kas desa kempis, kata Hariyono, dibukalah penambangan pasir untuk membiayai dan menggarap potensi wisata itu.

“Sejak awal kami berniat membangun pariwisata desa. Salah satu sumber dananya dari penjualan pasir,” kata Hariyono usai menghadiri sidang di Pengadilan Negeri Surabaya, Kamis (23/6/2016).

Pengakuan tersebut dibantah oleh Tosan. Niat membangun desa wisata itu dianggap hanyalah topeng untuk menutup kepentingan yang lebih besar. “Bilangnya untuk pembangunan desa. Ngapusi,” tegas Tosan.

Sepenglihatan Tosan, jauh sebelumm menjadi Kepala Desa, pekerjaan sehari-hari Hariyono hanyalah jual-beli sepeda motor. Namun setelah berlangsungnya penambangan pasir itu, kata Tosan, secara bertahap Hariyono punya mobil Pajero Sport, membangun rumah megah dengan dua lantai.

“Soal kemewahan itu didapat dari mana, persisnya saya tidak tahu. Tapi yang jelas setelah penambangan pasir, Pak Kades membeli itu semua,” ujar Tosan.

 

Siapa yang Paling Diuntungkan dari Bisnis Tambang Pasir Ilegal?

AAK Abdullah Al-Kudus berambut gondrong. Tubuhnya gempal, tingginya sekira 167 cm. A’ak, panggilan akrabnya, sejak awal mendampingi pendirian FKMPP. “Kami memang mengajak Pak Tosan dkk untuk berjuang melawan penambangan pasir secara damai,” katanya, ketika saya berkunjung ke rumahnya di Klakah, Lumajang, awal Januari 2016.

A’ak menjelaskan, perputaran uang di balik penambangn pasir ilegal di Selok Awar-Awar itu sangat gurih. Hitung-hitungan kasar A’ak saat itu menunjukkan betapa menggodanya bisnis pasir yang dikendalikan Hariyono dan Tim 12. “Dalam sebulan saja Hariyono bisa mendapatkan untung miliaran rupiah,” kata A’ak.

Dengan demikian, A’ak pun sangat yakin penganiayaan Tosan dan pembunuhan Salim berkaitan dengan bisnis batu halus itu. Jika diperinci, kata A’ak, setiap orang yang hendak mengangkut pasir dari Hariyono harus menyetor Rp 275 ribu per truk. Itu belum termasuk pungutan Rp 50 ribu untuk setiap truk yang melewati portal.

A’ak juga menduga, dengan modal sebesar itu, truk-truk yang mengangkut pasir pun sama sekali tidak rugi. “Sebab setelah pergi dari Lumajang, pasir itu dijual dengan harga Rp 750 ribu ke pengepul yang tersebar di daerah seperti Probolinggo, Gresik hingga Surabaya,” jelas A’ak.

Maklum, di tingkat konsumen, pasir Lumajang dikenal sebagai pasir terbaik sehingga dapat dijual di atas rata-rata dengan harga Rp 1,4 juta per truk-nya.

Sementara itu dalam lingkaran bisnis haram tersebut, A’ak percaya Hariyono adalah pihak yang paling diuntungkan. Dengan dibantu kelompok yang dipimpin Mat Dasir, Hariyono hanya perlu menyewa alat berat pengeruk pasir (backhoe).

“Di lokasi penambangan itu, biasanya ada lima sampai tujuh backhoe yang beroperasi. Saya dengar Backhoe tersebut disewa per harinya dengan harga Rp 2 juta. Nah, kalau dihitung, tiap hari jumlah truk yang mengangkut pasir bisa 200 hingga 250 truk. Maka bisa dibayangkan berapa untung bersih yang dihasilkan,” jelas A’ak.

 

Beberapa Keganjilan dalam Proses Persidangan

DUA hari selepas pengeroyokan Tosan dan terbunuhnya Salim Kancil, Senin 28 September 2015, Kapolres Lumajang AKBP Fadly Munzir Ismail mengumumkan telah menetapkan 18 tersangka. Polisi kemudian meringkus 5 tersangka lainnya. Penangkapan tersebut terus berkembang hingga mencapai 34 orang.

Pada 30 September 2015, Polda Jatim resmi mengambil alih kasus pengeroyokan dan pembunuhan tersebut. Dari Lumajang, sebanyak 23 tersangka saat itu segera diboyong ke ruang tahanan Polda Jatim di Surabaya. Juru Polda Jatim Komisaris Besar Raden Prabowo Argo Yuwono menyampaikan selain ruang tahanan di Polres Lumajang sudah penuh, pengambil-alihan tersangka juga mempertimbangkan alasan keamanan.

Setelah rampung dilakukan pemeriksaan, Polda Jatim melimpahkan berkas tersangka ke Kejaksaan Negeri Surabaya pada Kamis, 21 Januari 2016. Berkas perkara dipisah menjadi 27 judul. Namun pada akhirmya, setelah diperiksa oleh Kejari Surabaya, berkas yang 27 itu kemudian dipisah menjadi 14 bagian yang meliputi 4 kategori, antara lain pengeroyokan Tosan, pembunuhan Salim, illegal mining dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Achmad Zakky Qhufron, salah satu kuasa hukum Salim dan Tosan, ketika ditemui di Pengadilan Negeri Surabaya mengatakan, sekurang-kurangnya terdapat empat kejanggalan selama proses sidang berlangsung. Empat kejanggalan itu antara lain jalannya sidang yang berlarut-larut dan tidak tepat waktu. Tim jaksa kerap menunda persidangan.

“Kedua, saksi yang dihadirkan jaksa tidak kompeten, bahkan sering mengaku tidak ingat peristiwa dan menjawab tidak tahu ketika hakim mengajukan pertanyaan. Yang ketiga, kasus pengeroyokan Tosan dan pembunuhan Salim hanya dianggap sebagai kasus kriminal biasa,” kata Qhufron

Sementara yang keempat, lanjut Qhufron, banyak pelaku pengeroyokan dan pembunuhan yang belum ditangkap, bahkan hingga kini masih berkeliaran di Desa Selok Awar-Awar. “Itu membuktikan pengadilan telah gagal membongkar mafia pertambangan di wilayah pesisir Lumajang dan kesulitan mengungkap aliran dana miliaran rupiah hasil pertambangan di Pantai Watu Pecak,” jelas Qhufron.

Kepada wartawan, Gubernur Jawa Timur Soekarwo menyampaikan keprihatinannya terkait tragedi pengeroyokan Tosan dan dibunuhnya Salim Kancil. Dia meminta seluruh penegak hukum bekerja keras untuk menindak pelaku seadil-adilnya.

“Itu tragis sekali. Karena itu kami akan tertibkan mana tambang legal dan mana yang ilegal. Saya juga telah meminta bantuan kepada Kapolda untun mengusut tuntas kasus ini,” ujarnya.

Orang nomor satu di Jawa Timur itu menambahkan siapa saja yang tidak patuh pada hukum yang berlaku maka harus ditindak lewat jalur hukum pula. “Siapa pun yang melanggar hukum harus ditindak. Tidak boleh jika ada peanggaran hukum yang diselesaikan dengan kekerasan,” katanya.

Selain vonis untuk Hariyono dan Mat Dasir, Pengadilan Negeri Surabaya juga telah memvonis tersangka lainnya. Ada yang 10 tahun, 6 tahun, dan 4 tahun penjara termasuk 2 tersangka di bawah umur.

 

Jalan Terjal Perlawanan Tijah dan Putusan Sidang yang Menurutnya Tak Adil

PADA putusan sidang yang dibacakan hakim siang itu, Tijah datang bersama anak sulungnya, Ike Nurinah. Tosan dan beberapa warga Selok juga tampak menemani. Pada kesempatan tersebut jugalah Tijah menumpahkan amuk di dadanya yang berkecamuk itu.

“Di belakang rumah saya, sisa pelakunya masih banyak. Banyak sekali. Jumlahnya itu tidak kurang dari 60 orang. Ini kepalanya cuma kena 20 tahun, apalagi yang lain. Enak aja. Ini tidak adil. Sangat tidak adil. Saya tidak terima. Saya kehilangan suami saya. Coba lihat istri suami para pelaku, tiap hari bisa mengunjungi suaminya. Kalau saya mau berkunjung ke mana?”

Amuk Tijah semakin lama semakin diluapkan. Sekali lagi, pertanyaan yang sama diulang kembali seraya mencibir dan meragukan kualitas hukum yang dijalankan negara ketika berhadapan dengan gerombolan pengeruk pasir ilegal saja yang begitu kewalahan, begitu kelihatan kehilangan taring.

“Memang suami saya salah apa? Pantai selatan itu punya siapa, punya negara kan, bagaimana negara ini kok ndak adil kayak gini. Ndak ada negara kayak gini kalau hukuman untuk Hariyono cuma segitu,” cibir Tijah.

Nama ‘Tijah’ berasal dari bahasa Arab. Artinya: berhadap-hadapan atau bertemu langsung. Tijah istri almarhum Salim yang kini harus mengurus dua anaknya seorang diri itu punya kiasan tersendiri untuk melukiskan sosok Hariyono berikut anak buahnya.

“Air laut di Selok sekarang tumpah. Gara-gara apa? Gara-gara pasirnya diambil sama Pak Hariyono itu. Sampai-sampai suami saya diseret dari rumah ke balai desa, ke dekat kuburan. Memang Pak Hariyono itu ndak punya hati. Hati hewan itu. Semuanya pelakunya itu. Ndak punya hati sama sekali. Iblis!”

Penulis: Hari Wibowo (Jurnalis lepas, pernah ikut menanam literasi bersama Rumah Baca Tikungan)

Print Friendly, PDF & Email
Ikuti berita Kolomdesa.com terupdate di:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *