Kolomdesa.com– Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki laut terluas, jumlah pulau terbanyak, dan memiliki pantai terpanjang kedua di dunia. Maka tidak heran bila Presiden Joko Widodo dalam beberapa agenda konferensi tingkat tinggi selalu menegaskan bahwa laut adalah harapan bangsa Indonesia di masa depan. Dalam fakta ini, maka Suistainable Development Goals (SDGs) Desa ke-14 menegaskan bahwa laut yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia bukanlah pemecah, tapi justru pemersatu. Laut bukan juga sebagai kendala pemerataan kesejahteraan, tapi menjadi jalan menuju sumber kemakmuran menuju kemajuan bangsa dan negara di masa depan. Fakta lain yang menjadikan pulau-pulau di Indonesia menjadi jalan kemakmuran misalnya, World Resources Institute (WRI) Indonesia dalam studinya menyebut bahwa Indonesia adalah produsen ikan tangkap liar terbesar kedua di dunia setelah China. Artinya, negara kita juga memenuhi sekitar 25% permintaan perikanan global.
Pada tahun 2022 misalnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor hasil perikanan Indonesia menyentuh USD6,24 miliar dengan volume ekspor mencapai 1,22 juta ton. Memiliki potensi perikanan sedemikian besar dan meganya itu, tentu membuat Indonesia rentan dengan praktik penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur. Aktivitas tersebut diperkirakan memberikan kerugian ekonomi negara hingga USD6 miliar per tahun atau setara Rp93 triliun. Dalam upaya menghindari kerugian dan melindungi biota laut, pemerintah kemudian menerapkan konsep ekonomi biru. Merujuk World Bank, ekonomi biru adalah ekonomi laut berkelanjutan yang tidak hanya memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga memastikan kelestarian lingkungan dalam jangka panjang.
Kebijakan ekonomi biru di Indonesia telah tertuang dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Aplikasinya kemudian dituangkan dalam beberapa program, salah satunya penangkapan ikan terukur (PIT) yang tengah dikebut oleh pemerintah. Tak butuh waktu lama, kebijakan penangkapan ikan terukur ini resmi ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur pada 6 Maret 2023 lalu. Dan rencananya, baru akan diimplementasikan pada 2024.
Dalam PP tersebut, dijelaskan PIT adalah kegiatan penangkapan ikan yang terkendali dan proporsional yang dilaksanakan di zona tertentu. Hal ini dilakukan untuk memastikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungan. Di saat yang sama, kebijakan ini juga disusun untuk memberikan kesejahteraan nelayan serta meningkatkan daya saing hasil perikanan. Meskipun demikian, dalam praktiknya, program penangkapan ikan terukur ini lebih mengarah kepada kebijakan liberalisasi pengelolaan sumber daya perikanan. Lalu pada akhirnya memberi karpet merah pada industri-industri perikanan skala besar untuk mengeksploitasi laut Indonesia.
Musababnya, kebijakan ini justru memarginalkan nelayan tradisional dan masyarakat pesisir. Hal ini terlihat dari isi pasal 9 yang membatasi kuota nelayan lokal hanya sampai dengan 12 mil zona penangkapan terukur. Berbanding terbalik dengan isi pasal 10 yang menerangkan zona penangkapan bagi industri memiliki cakupan luas di atas 12 mil.
Sayangnya, mayoritas pola pikir masyarakat Indonesia masih menganggap laut sebagai “problem”. Hal ini membuat fokus pembangunan dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik masih terpusat di daratan. Sebagai warga negara kepulauan, pola pikir kita seharusnya memiliki pola pikir masyarakat agraris. Untuk itu, upaya mengubah pola pikir masyarakat Indonesia dari berperspektif agraris menjadi berperspektif bahari mendesak dilakukan. Perubahan pola pikir ini diharapkan lambat laun akan membentuk tradisi bahari dalam masyarakat kita. Tradisi yang membuat kita bisa mencintai laut: memberi perhatian lebih besar pada peningkatan kapasitas nelayan maupun masyarakat pesisir, menaruh kepedulian pada pelestarian ekosistem laut, dan tidak meremehkan kedaulatan wilayah laut kita.
Disadari atau tidak, fakta kerusakan ekosistem laut bisa terjadi akibat ulah manusia, salah satunya dari penggunaan sampah plastik. Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Indonesia membuang sebanyak 1,29 juta ton sampah plastik ke sungai dan kemudian bermuara di laut. Sampah plastik membutuhkan waktu cukup lama untuk terdegradasi atau terurai dan menjadi berbahaya bila dimakan oleh organisme laut serta secara tidak langsung juga dapat mengakibatkan kerusakan terumbu karang.
Upaya kita untuk menjaga kelestarian laut sendiri bisa dimulai dari hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan yang dapat membuat laut kita tercemar, tidak menangkap ikan secara berlebihan, serta tidak merusak terumbu karang saat berwisata di laut. KKP sendiri telah berupaya mengembalikan ekosistem laut dari kerusakan melalui upaya konservasi serta menjaga kesehatan laut dengan melaksanakan gerakan pantai dan laut. Semua upaya tersebut dilakukan juga untuk membuat persediaan sumber daya laut tetap melimpah dan berkelanjutan.
Dari sini, maka masyarakat tak gampang jatuh pada disinformasi yang berpotensi meretakkan kesatuan Indonesia. Untuk itu, membekali generasi muda dengan literasi kelautan dan melatih mereka dengan tradisi bahari adalah hal yang harus dikerjakan secara terus menerus. Sehingga di masa depan, kita benar-benar menganggap laut sebagai samudera kesejahteraan bagi seluruh bangsa.