Kolomdesa.com, Probolinggo – Sebagai tempat wisata, Gunung Bromo memiliki daya tarik tersendiri yang unik. Selain kawahnya yang masih hidup, hamparan pasir di sekeliling Gunung itu juga seakan menarik orang-orang untuk datang berkuda, atau sekadar keliling menaiki mobil jeep bersenang-senang. Sembari menikmati hawa dingin, orang-orang datang untuk berlibur setelah penat di kota. Tetapi, apakah sebenarnya wajah Bromo itu yang menarik? Apa yang unik selain itu sebenarnya?
Setiap setahun sekali, dalam hitungan penanggalan Hindu Jawa Suku Tengger. Setiap hari ke-14 pada bulan Kasada (bulan ke-12). Sembari menenteng hasil bumi, orang-orang asli Suku Tengger akan berkumpul di kaki gunung sebelum akhirnya berjalan bersama menuju kawah. Di sana, mereka akan melakukan ritual Yadnya Kasada. Melempar hasil bumi ke kawah Bromo.
Ritual Yadnya Kasada sendiri adalah upacara persembahan untuk Tuhan, Sang Hyang Widhi. Sebagai bentuk rasa syukur terhadap apa yang mereka dapatkan dari hasil bertani atau berternak, dan lainnya. Dan pada tahun ini, ritual tersebut akan dilakukan pada 21-23 Juni mendatang.
“Mereka yang bisa turun ke Laut Pasir Bromo hanya warga Tengger yang akan melakukan rangkaian ritual Kasada. Pengunjung Non-Tengger hanya bisa sampai kje Desa Ngadas,” ucap Murjianto, Kepala Desa Ngadas.
Dan selama beberapa hari, wisata Gunung Bromo akan ditutup sementara. Seperti yang terlampir melalui surat Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru Nomor: PG.5/T.8/TU/KSA.5.1/B/06/2024 tentang Penutupan Kegiatan Wisata Gunung Bromo dan Sekitar pada Ritual Yadnya Kasada Tahun 2024.
Acara tersebut adalah acara penting. Sakral. Selain Orang-orang Suku Tengger dan orang-orang yang bertugas di sana tidak diperkenankan untuk masuk. Di pintu masuk, para petugas akan memastikan melalui keaslian diri siapa yang akan masuk adalah sebagai penduduk asli atau bukan.
Artinya, acara upacara Yadnya Kasada bukan acara biasa. Itu adalalah acara besar. Acara suci. Dan sebagai pelancong, tidak datang—merecoki, adalah sama halnya dengan “memberi dukungan” untuk acara itu berjalan dengan baik, dengan sakral.
“Penutupan dilakukan dalam rangka Yadnya Kasada serta pemulihan ekosistem dan pembersihan kawasan. Dan tentunya bertujuan untuk menghormati warga Tengger dalam melaksanakan acara tersebut,” jelas Hnedro, Kepala Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (BB TNBTS).
Upacara “Yadnya Kasada” Sebagai Warisan Leluhur
Berbagai macam hasil bumi akan dipersembahkan di Kawah Bromo. Umbi-umbian, sayur-sayuran, uang, dan kambing akan diponggok kesana oleh warga. Untuk tuhan, pula untuk menjaga tradisi leluhur. Dengan suka cita, mereka akan melakukannya di sana.
Konon, upacara Yadnya Kasada itu telah ada sejak jaman kerajaaan Majapahit, sekitar abad ke-13 M—sebagaimana mereka ada di sana sejak abad itu. Dan Tengger berasal dari dua nama Leluhur mereka; Rara Anteng (Putri dari raja Brawijaya) dan Joko Seger (putra dari seorang Brahmana Kediri). Menikah.
Namun setelah beberapa waktu tak dikaruniai anak. Rara Anteng berdoa dan melakukan janji yang sangat serius dengan tuhan. Bunyi janjinya, jika dikaruniai anak suatu saat nanti, katanya, ia akan mengorbankan salah satu anaknya.
Dan di kemudian hari (dalam cerita legenda) setelah mereka dikaruniai 25 anak. Kemudian salah satu anak dari mereka menghilang di Kawah Bromo, secara misterius. Hanya ada suara keras yang keluar dari kawah Bromo di waktu itu. Anak yang menghilang itu Bernama Raden Kusuma. Dan, dari sanalah cikal bakal upacara Yadnya Kasada itu digelar dan menjadi tradisi hingga sekarang.
“Keturunan Rara Anteng dan Joko Seger atau masyarakat Tengger dapat hidup aman sejahtera bila pada waktu-waktu tertentu mereka memberi korban ke bawah Gunung Bromo,” kata Sudiro seperti dinukil dari Indonesiakaya.com pada Kamis (20 Juni 2024).
Dan sampai sekarang pula, bagaimana masyarakat Tengger masih percaya dan sangat yakin jika melakukan melemparkan sesuatu (yang kini hasil bumi) sebagai bentuk pengorbanan, akan membawa keamanan dan kesejahteraan bagi mereka yang melakukan.
Dan dalam cerita persisnya, ada berbagai macam sumber yang tentunya masih dalam perdebatan. Bagaimana asal muasal acara itu ada dan dari mana asalnya Suku Tengger berasal. Yang jelas, Upacara Yadnya Kasada adalah warisan leluhur. Yang mesti dijaga dan dilestarikan terlepas dari berbagi macam versi cerita. Dan jika masih terus memunculkan fakta-fakta sejarah, semisalnya, itu jauh lebih bagus. Memperkaya cerita berarti memperkuat keyakinan. Sebagaimana keunikan adalah kekayaan, dan berbeda adalah kehidupan.