Kolom Desa

Tradisi Alek Bakajang: Perayaan Penuh Warna di Nagari Gunuang Malintang

Tradisi Alek Bakajang. Sumber: Kolom Desa

Kolomdesa.com, Lima Puluh KotaNagari Gunuang Malintang, sebuah desa di Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat, kembali semarak dengan perayaan tahunan tradisi Alek Bakajang. Acara yang digelar ini menarik perhatian ribuan warga dan wisatawan yang datang untuk menyaksikan kemeriahan dan keunikan tradisi budaya yang telah berlangsung selama ratusan tahun ini.

Perayaan tahunan tradisi Alek Bakajang memiliki tujuan utama untuk mengenang asal usul nenek moyang masyarakat Nagari Gunuang Malintang yang berjasa membangun nagari mereka. Tradisi ini juga berfungsi sebagai pemersatu dan pengikat untuk menjalin silaturahmi di antara warga, serta menjadi sarana hiburan yang dinantikan oleh masyarakat.

Kemeriahan perayaan Alek Bakajang. Sumber: Kolom Desa
Kemeriahan perayaan Alek Bakajang. Sumber: Kolom Desa

Dalam perhelatan ini, berbagai elemen masyarakat terlibat dalam perayaan tradisi Alek Bakajang ini, mulai dari niniak mamak (tetua adat), pemuda, pemerintah, hingga seluruh lapisan masyarakat. Alek Bakajang pada masa lampau, diadakan sebagai hiburan pelepas lelah setelah musim panen. Kini, tradisi ini telah berevolusi menjadi acara budaya dan pariwisata yang kental dengan nilai-nilai estetika dan seni, tentunya selaras dengan nilai budaya masyarakat.

Pada perayaan tradisi Alek Bakajang, kajang adalah atap yang terbuat dari daun-daun menyerupai daun pandan yang sudah dikeringkan dan dirakit dengan rotan. Atap ini digunakan oleh nenek moyang untuk melindungi diri dari panas dan hujan. Perahu yang diberi atap kajang dinamakan perahu kajang. Namun, saat ini, daun-daun tersebut sudah sulit ditemukan, sehingga perahu kajang telah dimodernisasi menjadi replika kapal pesiar yang digunakan dalam tradisi Alek Bakajang sebagai event wisata budaya daerah setiap tahunnya.

Novia, kader digital Desa Gunuang Malintang, menjelaskan mengenai tradisi Alek Bakajang. “Ini adalah tradisi warga Nagari Gunuang Malintang yang dilaksanakan tujuh hari setelah hari raya Idul Fitri dan dinamakan Alek Bakajang. Replika perahu itu kami namakan kajang, yang artinya perahu atau sampan yang dihiasi sehingga menjadi kapal yang bisa dinaiki dua atau tiga orang. Contohnya tamu yang terhormat atau niniak mamak, Wali Nagari, dan anak kemenakan yang mewakili untuk berdiri di atas perahu. Ini menandakan bahwa perahu atau kajang itu dimiliki oleh pasukuan tersebut,” jelas Novia.

Di masa lampau, sebelum adanya jalan raya, Sungai Batang Mahat menjadi sarana utama transportasi di wilayah ini. Sungai ini menghubungkan berbagai suku dan golongan, memungkinkan terjalinnya persatuan dan silaturahmi. Alek Bakajang awalnya merupakan sarana untuk jalang manjalang (berkeliling) dan bersilaturahmi menggunakan kajang saat hari raya Idul Fitri.

Alek Bakajang telah meraih pengakuan nasional. Pada tahun 2021, tradisi ini memenangkan juara pertama kategori Atraksi Budaya Terbaik Nasional Anugerah Pariwisata Indonesia (API) yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI.

Perayaan Alek Bakajang

Pada tahun ini, Alek Bakajang kembali digelar dengan meriah. Selama lima hari, masyarakat dari lima jorong di Nagari Gunuang Malintang berkumpul di Sungai Batang Maek untuk berpartisipasi dalam parade perahu kajang. Setiap jorong diwakili oleh sebuah perahu kajang yang diarak di tepian sungai, disambut dengan antusias oleh ratusan warga yang menonton dari tepian sungai, berenang, atau berperahu.

Perahu-perahu kajang ini merupakan replika kapal pesiar dengan panjang sekitar 15 meter dan lebar 2 meter. Konstruksinya terbuat dari gabungan dua sampan atau drum sebagai pelampung, kayu sebagai kerangka, dan kayu lapis sebagai lapisan luar. Perahu-perahu ini dihiasi dengan cat berwarna-warni, dekorasi menarik, dan dilengkapi dengan sekoci serta jangkar.

“Kajang itu dilaksanakan selama lima hari berturut-turut. Setelah selesai acara atau Alek Bakajang, replika yang dibikin itu akan dibongkar dan alat yang masih layak dipakai akan disimpan oleh pemuda jorong masing-masing. Dan akan dibikin untuk tahun selanjutnya oleh pemuda-pemudi Nagari Gunuang Malintang. Sukses terus anak Nagari Gunuang Malintang. Menyala Gunuang Malintang!” tambah Novia dengan semangat.

Parade perahu kajang ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga ajang penilaian terhadap kreativitas pemuda dari setiap jorong. Perahu-perahu ini dikreasikan dengan detail yang teliti, mencerminkan keterampilan dan kerja keras para pemuda yang mempersiapkannya selama minimal sepekan sebelum Idul Fitri. Biaya pembuatan satu perahu kajang bisa mencapai Rp 30 juta, yang biasanya diperoleh dari iuran pemuda dan bantuan pemerintah.

Selama lima hari perayaan, setiap jorong bergantian menjadi tuan rumah. Acara dimulai dengan prosesi penjemputan secara adat, di mana perahu-perahu kajang berkumpul di pinggir wilayah tuan rumah. Delegasi adat dari setiap jorong diarak menuju Istano Datuak Bandaro, tempat pemimpin adat tertua dari Suku Domo.

Prosesi ini dilanjutkan dengan silaturahmi di dalam surau, di mana para tetua adat, bundo kanduang, alim ulama, dan pemuda membahas kondisi nagari dan anak-kemenakan selama setahun terakhir. Kegiatan ini ditutup dengan doa bersama dan menikmati hidangan juadah, kemudian dilanjutkan dengan parade perahu kajang di sore hari.

Silaturahmi dan doa bersama antar warga di perayaan Alek Bakajang. Sumber: Twitter/50Kodim

Melestarikan Tradisi Alek Bakajang dan Mempererat Relasi

Ketua Pemuda Nagari Gunuang Malintang sekaligus Ketua Panitia Alek Bakajang, Deng Putra, menegaskan bahwa Alek Bakajang bertujuan untuk menjaga silaturahmi empat suku yang ada di Gunuang Malintang. Tradisi ini juga berfungsi sebagai wadah untuk menjalin kerja sama antara berbagai lembaga nagari, termasuk ninik mamak, pemerintah nagari, dan pemuda.

”Alek ini untuk menjaga silaturahmi empat suku yang ada di Gunuang Malintang,” ujar Deng Putra. “Silaturahmi di surau membahas kondisi nagari dan anak-kemenakan selama setahun ini,” tambahnya.

Jamri Datuak Pakomo, Ketua Kerapatan Adat Nagari Gunuang Malintang, menjelaskan bahwa tradisi Alek Bakajang telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Meski moda transportasi utama kini telah berubah dari perahu ke jalan darat, tradisi ini tetap dilestarikan sebagai simbol budaya dan sarana mempererat kekerabatan antarwarga jorong.

Bentuk perahu kajang dalam tradisi Alek Bakajang telah mengalami perubahan dalam tiga fase. Pada periode 1950-1980, perahu kajang dibuat dari tiga perahu kayu yang digabung menjadi satu mirip rakit dan diberi atap daun palem. Kemudian, bentuknya dikembangkan menjadi dua perahu dengan satu atap dihiasi kain warna-warni. Sejak tahun 1980-an, perahu kajang berubah menjadi replika kapal pesiar dengan bagian dasar menggunakan dua perahu ukuran sedang, rangka kayu, dan dinding kayu lapis yang dicat warna-warni.

”Perahu kajang berbentuk kapal pesiar ini dikenalkan seorang warga kami yang pernah bekerja di kapal pesiar Costa Allegra,” kata Jamri. “Kemahiran para pemuda membuat karya seni ini akan dinilai supaya mereka termotivasi,” tambahnya.

Alek Bakajang tidak hanya mempererat kekerabatan antarwarga, tetapi juga berdampak positif bagi para pemuda. Persiapan alek yang dilakukan di surau selama Ramadhan mendekatkan para pemuda dengan tradisi dan budaya mereka. Interaksi antar pemuda selama proses persiapan hingga perayaan menjalin kekompakan dan mempererat hubungan di antara mereka.

”Sangat berdampak positif, apalagi sekarang pengaruh internet sangat besar. Interaksi yang terjalin membuat para pemuda semakin akrab,” kata Deng Putra. Untuk membangkitkan semangat, hasil kreasi perahu kajang para pemuda pun dikonteskan berdasarkan konstruksi, estetika, dan aksesori/dekorasi.

Dengan melibatkan seluruh lapisan masyarakat, Alek Bakajang menjadi perayaan yang meriah dan bermakna, merawat warisan leluhur, dan mempererat silaturahmi di Nagari Gunuang Malintang. Tradisi ini menjadi bukti bahwa kebudayaan lokal tetap hidup dan berkembang di tengah masyarakat modern, mengajarkan nilai-nilai kearifan lokal yang harus terus dijaga dan diwariskan kepada generasi berikutnya.

Penulis: Lukacs Lazuardi
Editor: Mukhlis

Exit mobile version