Di Pedurungan, sebuah kawasan di bagian timur Kota Semarang, tradisi Syawalan menjadi momen istimewa bagi warga setempat. Namun, di tengah tradisi yang berlangsung seperti biasa, terdapat satu tradisi unik yang menarik perhatian, yaitu tradisi Kupat Jembut.
Nama yang terdengar cukup unik ini ternyata memiliki sejarah yang menarik. “Kupat” singkatannya dari “Ketupat”, sedangkan “Jembut” diambil agar lebih mudah dalam penyebutan, karena Ketupat yang disajikan dalam tradisi ini memiliki isian taoge yang mirip dengan rambut dan sayuran.
Dilansir dari detik.com, menurut penjelasan Imam Masjid Rudlotul Muttaqin di kawasan kampung Jaten Cilik Pedurungan, tradisi ini diselenggarakan setelah salat Subuh. Anak-anak di sekitar masjid berkumpul untuk ikut serta dalam acara ini, yang ditandai dengan berebut ketupat dan uang.
Meskipun terjadi rebutan, suasana tetap meriah. Setiap warga memberikan tanda dari rumahnya, dan anak-anak dengan penuh semangat berlomba-lomba untuk mendapatkan ketupat atau uang.
Meskipun tidak semua anak mendapatkan bagian dari Kupat Jembut, namun suasana tetap ceria karena warga saling berbagi uang kepada mereka. “Iya ini nggak kebagian, tapi ini dapat uang. Seneng aja ya, meriah,” ungkap Zahira dengan senyuman mengikuti kemeriahan tradisi Kupat Jembut.
Tradisi Kupat Jembut juga diadakan di Gang Pedurungan Tengah II, di mana anak-anak dan remaja dikumpulkan sebelum acara dimulai. Ada yang bertugas sebagai pandu untuk mengunjungi rumah yang akan membagikan Kupat Jembut atau uang, agar acara berjalan lancar dan adil.

Dalam perayaan Syawalan ini, anak-anak didahulukan ketika acara berlansung agar semua bisa mendapatkan bagian. Selain membagikan ketupat dan uang, warga juga memanfaatkan momen ini untuk saling memaafkan sesama tetangga.
Menariknya, belakangan ini Kupat Jembut juga diselipkan dengan plastik berisi uang. Namun, menurut cerita dari Munawir, pada awalnya, tradisi ini tidak hanya tentang makanan dan uang. Pada tahun 1965, Kupat Jembut bahkan pernah diisi dengan petasan sebagai bentuk protes terhadap situasi politik dan sosial saat itu.
“Awalnya dulu pada tahun ’65, bentuknya malah dikasih kupat dan mercon. Jadi mercon sampai sekitar tahun ’85, sebagai bentuk protes keadaan waktu itu. Karena keadaan semakin baik, ekonomi semakin baik terus dikasih kupat dan jajanan. Sampai tahun 90-an ke sini mulai ada dikasih uang,” ujar Munawir, yang telah mengikuti tradisi Kupat Jembut sejak kecil.
Budaya Kupatan dan Muasal Kupat Jembut
Kupat Jembut, sebuah kuliner unik yang memiliki akar sejarah yang dalam, bukan sekadar menjadi hidangan lezat, namun juga membawa berbagai makna filosofis yang dalam bagi masyarakat Semarang. Sebagai bagian dari tradisi Syawalan di kawasan Pedurungan, Semarang, Kupat Jembut telah menjadi warisan budaya yang dijunjung tinggi dan diwariskan secara turun-temurun.
Sejarah Kupat Jembut tidak lepas dari perjalanan panjang tradisi kupat di tanah Jawa. Kupat pertama kali muncul di tanah Jawa dan diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga kepada masyarakat Jawa sebagai bagian dari budaya dan filosofi Jawa. Tradisi ini disajikan saat lebaran kupatan dan berkembang pesat di berbagai wilayah di Nusantara berkat pengaruh Wali Songo.

Namun, apa yang membuat Kupat Jembut begitu istimewa adalah sejarah dan makna di baliknya. Dikisahkan bahwa Kupat Jembut lahir dari kondisi keterbatasan pada masa perang di mana warga Semarang harus tetap merayakan tradisi Syawalan meskipun dalam situasi yang sulit. Meski hanya dengan bahan baku sederhana seperti toge dan kelapa, mereka tetap berusaha untuk merayakan tradisi dengan membuat Kupat Jembut yang sederhana namun penuh makna.
Filosofi yang terkandung dalam Kupat Jembut sangatlah mendalam. Bentuk dan bahan-bahan yang digunakan memiliki makna tersendiri bagi masyarakat Semarang. Bungkus ketupat yang berbentuk segi empat melambangkan prinsip kiblat papat lima pancer, mengajarkan bahwa pada akhirnya manusia akan kembali kepada Allah. Sementara itu, anyaman bungkus yang rumit dimaknai sebagai kesalahan manusia, dan warna putih ketupat yang melambangkan kebersihan dan kesucian menjadi simbol akhir dari perayaan Syawalan.
Tak hanya sebagai hidangan lezat, Kupat Jembut juga menjadi simbol kesederhanaan, kebersamaan, dan rasa syukur bagi masyarakat Semarang. Melalui keunikan dan makna filosofisnya, Kupat Jembut menjadi lebih dari sekadar kuliner, namun juga menjadi simbol sejarah dan budaya yang dilestarikan dengan bangga.
Kupat Jembut tidak hanya menjadi bagian dari tradisi, namun juga menjadi bagian dari brand storytelling yang efektif dalam mempromosikan keunikan dan kekayaan budaya Nusantara. Dengan cerita dan makna yang mendalam, Kupat Jembut mampu menarik perhatian dan memengaruhi alam bawah sadar masyarakat atas nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.
Kupat Jembut tidak hanya menjadi simbol kuliner semata, namun juga menjadi simbol kebersamaan, rasa syukur, dan kekayaan budaya yang perlu dilestarikan dan dijunjung tinggi oleh generasi selanjutnya.
Penulis: Lukacs Lazuardi
Editor: Mukhlis