Kolom Desa

Malabuh, Tradisi Sakral Masyarakat Banjar

Prosesi Malabuh Tabalong. Sumber Foto: Tangkap Layar Youtube Tabalong Hari Ini

Tabalong – Kehidupan masyarakat Banjar merupakan perpaduan unik antara kekayaan budaya yang diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Julukan “kota seribu sungai” memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, terkait erat dengan mitos-mitos dan tradisi-tradisi kuno yang masih dilestarikan. Salah satu mitos yang menarik adalah kisah tentang Buaya Kuning dan Buaya Putih, yang berasal dari daerah Kelua di Kabupaten Tabalong, Hulu Sungai Selatan.

Dalam kisah tersebut, Datu Kartamina, yang dianggap sebagai manusia buaya, dikatakan memiliki kesaktian untuk berubah menjadi buaya kuning di sungai. Keterkaitan mitos ini dengan kepercayaan masyarakat Banjar, khususnya yang merupakan keturunan dari wilayah Kelua, menegaskan pentingnya memelihara buaya gaduhan dalam budaya dan kehidupan sehari-hari mereka.

Masyarakat Banjar meyakini bahwa datuk, kakek, nenek, dan keturunannya memiliki hubungan khusus dengan buaya gaib. Istilah yang digunakan untuk menyatakan ikatan ini adalah “bagaduhan buhaya,” yang berarti memelihara buaya, “basahabat,” yang merujuk pada persahabatan, atau “menghormati tuah buhaya,” yang menggambarkan penghormatan terhadap buaya. Keyakinan ini tercermin dalam cara masyarakat Banjar memperlakukan buaya dengan penuh hormat dan kepercayaan, sebagai makhluk gaib yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Banjar.

“Dalam tradisi masyarakat Banjar, sebagian mempercayai adanya kekuatan dari buaya kuning, buaya putih, naga laki dan naga bini yang bersemayam di sungai-sungai. Ya, tradisi ini juga erat kaitannya dengan kultur sungai atau ekologi air dalam masyarakat Banjar,” tutur Nasrullah sosiolog alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Menurut beberapa sumber, buaya gaib ini pada masa lalu digunakan sebagai bentuk perlindungan pada zaman penjajahan dan juga untuk pedagang yang melakukan perdagangan melalui jalur sungai. Masyarakat yang memiliki buaya meyakini bahwa hewan tersebut memiliki kekuatan supranatural yang mampu melindungi mereka dari berbagai bahaya yang mungkin terjadi. Ini mencerminkan hubungan yang dalam antara masyarakat Banjar dengan alam sekitarnya, di mana mereka memandang buaya sebagai sekutu spiritual yang dapat memberikan perlindungan dan keamanan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kepercayaan ini menjadi bagian penting dalam warisan budaya dan tradisi masyarakat Banjar.

Prosesi Malabuh Tabalong. Sumber Foto: Tangkap Layar Youtube Tabalong Hari Ini
Prosesi Malabuh Tabalong. Sumber Foto: Tangkap Layar Youtube Tabalong Hari Ini

Pelaksanaan Malabuh Mayarakat Banjar

Ritual malabuh umumnya dilakukan oleh tokoh adat, yang sering disebut sebagai tukang tamba, atau oleh keturunan keluarga yang bersangkutan. Prosesi ini dimulai dengan acara selamatan di rumah, yang melibatkan pembacaan doa untuk memohon perlindungan dan berkat. Sebagian dari sesaji makanan kemudian dibawa ke tepi sungai untuk dilabuh. Saat ditepi sungai, dilakukan pembacaan tuturan ritual yang bertujuan untuk memanggil kehadiran buaya gaib. Sesaji tersebut kemudian dilepaskan ke dalam sungai dengan cara memasukkan tangan ke dalam air hingga siku, dengan gerakan yang mengingatkan pada menyodorkan makanan kepada buaya tersebut. Proses ini tidak hanya merupakan penghormatan kepada buaya, tetapi juga merupakan manifestasi dari hubungan spiritual yang dalam antara masyarakat Banjar dan alam sekitarnya. Melalui ritual ini, mereka berharap untuk mendapatkan perlindungan dan berkah dari buaya gaib dan memperkuat ikatan dengan leluhur dan tradisi nenek moyang mereka.

Pelaksanaan malabuh bervariasi tergantung pada adat dan kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyang sebelumnya. Waktu pelaksanaannya juga berbeda-beda, ada yang ditentukan berdasarkan bulan Hijriah seperti Muharram, Shafar, Rabiul Awal, atau Dzulhijjah, dan ada pula yang mengikuti penanggalan bulan Masehi.

Prosesi Malabuh Tabalong. Sumber Foto: Tangkap Layar Youtube Tabalong Hari Ini

Selain itu, ada orang yang melaksanakan ritual malabuh saat ada acara besar keluarga seperti pernikahan, mandi tujuh bulanan, kelahiran anak, atau sunatan anak. Beberapa juga melakukan malabuh karena alasan tertentu seperti sakit atau kesurupan yang dianggap disebabkan oleh perlindungan atau tanda dari buaya gaduhannya. Ritual ini mencerminkan hubungan mendalam antara masyarakat Banjar dengan buaya dan keyakinan spiritual mereka yang berkaitan dengan keamanan dan kesejahteraan.

Pada ritual ini, sesaji yang disiapkan umumnya terdiri dari lakatan (ketan) kuning, telur ayam atau itik, dan pisang, yang merupakan sajian yang selalu hadir dalam setiap malabuh. Beberapa juga menambahkan kue 41 macam, kopi manis-pahit, rokok, air santan, air gula, dan rangkaian bunga (kembang berenteng), serta upung mayang sesuai dengan tradisi keluarga masing-masing. Kehadiran sesaji ini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan kepada buaya, tetapi juga sebagai upaya untuk memperoleh perlindungan dan berkat dari makhluk gaib tersebut. Kombinasi sesaji ini mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi dalam masyarakat Banjar, serta nilai-nilai yang mereka junjung tinggi dalam menjaga hubungan harmonis dengan alam sekitar.

Prosesi Malabuh Tabalong. Sumber Foto: Tangkap Layar Youtube Tabalong Hari Ini

Makna Dibalik Sesaji Malabuh

Sesaji malabuh memiliki makna yang sangat dalam, terkait baik dengan buaya maupun dengan pihak keluarga yang melaksanakan ritual tersebut. Setiap elemen sesaji memiliki makna tersendiri yang mencerminkan hubungan erat antara keluarga, agama Islam, dan makhluk gaib seperti buaya.

Ketan kuning melambangkan hubungan keluarga yang erat, menunjukkan pentingnya kebersamaan dan persatuan dalam keluarga Banjar. Telur memiliki makna unsur keislaman yang mencakup syariat dan hakikat, menggambarkan keyakinan dan prinsip-prinsip agama yang menjadi landasan kehidupan. Pisang melambangkan keberlimpahan rezeki, mengingatkan akan pentingnya berbagi dan mensyukuri segala berkah yang diberikan.

Selain itu, setiap elemen sesaji juga memiliki makna terhadap buaya itu sendiri, yang mencerminkan pemahaman mendalam masyarakat Banjar terhadap makhluk tersebut. Upung mayang sebagai simbol badan, rangkaian bunga sebagai simbol telinga, pisang sebagai simbol gigi, serta ketan kuning dan telur yang melambangkan perut dan pusar, semuanya memberikan gambaran tentang kehadiran dan peran buaya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar.

Keseluruhan sesaji malabuh ini menandakan adanya ikatan yang kuat antara budaya Banjar dengan ajaran agama Islam, serta antara manusia dan makhluk gaib seperti buaya. Ritual ini tidak hanya sebagai bentuk penghormatan kepada buaya, tetapi juga sebagai ekspresi dari nilai-nilai keagamaan dan budaya yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Banjar.

 

Editor: Muhklis

Exit mobile version