GIANYAR – Tradisi siat api di Desa Adat Nagi, Desa Petulu, Kecamatan Ubud, Gianyar terus dilestrikan. Kegiatan itu, digelar pada malam pangrupukan.
“Siat api dengan sarana serabut kelapa atau sambuk ini diyakini dapat menetralisir bhutakala,” kata Bendesa Adat Nagi, I Nyoman Sudana, Minggu (10/3/2024).
I Nyoman Sudana mengatakan siat api menjadi tradisi turun temurun setiap pangrupukan atau sehari sebelum Nyepi. Menurut kepercayaan masyarakat, siat api untuk melebur atau memusnahkan sifat bhutakala dalam diri.
“Api merupakan simbol pelebur, kami yakini api yang mengenai tubuh dalam perang api ini dapat melebur sifat bhutakala dalam diri,” ujar Sudana.
Karena keyakinan tersebut, krama adat yang ikut dalam perang api justru senang jika mereka dilempar sabut kelapa panas yang memercikkan api. Meskipun tubuh terkena api dan melepuh, tidak ada yang dendam.
“Malahan senang karena api yang menghantam tubuh diyakini dapat melebur hal-hal buruk dalam diri,” jelas Sudana.
Peserta siat api hanyalah krama lanang atau laki-laki dewasa, pemuda hingga lansia.
Sebelum siat api berlangsung, krama yang mengikuti tradisi ini dipercikkan tirta untuk menyucikan diri. Diharapkan para peserta perang api ini memiliki pemikiran yang positif selama tradisi perang api berlangsung.
“Kami doakan agar tidak terjadi hal yang tak diinginkan,” ujar Sudana.
Peserta perang api, I Wayan Ekayana mengatakan sama sekali tidak merasakan panas saat diserang api. Bara api yang menghantam tubuhnya dirasakan bagaikan air.
“Tidak panas, saya rasakan seperti terkena air,” ujarnya di sela-sela perang api.
Peserta lainnya, I Putu Mahardika, mengatakan tidak ada unsur emosional dalam menjalankan tradisi ini.
“Semua mengikuti tradisi perang api dengan hati bersih, tidak ada emosi ataupun perasaan tidak baik, tujuan tradisi ini membersihkan diri dari sifat bhutakala,” tutup Mahardika.
Penulis: Fais
Editor: Habib
