BALI – Upacara Potong Gigi, yang dalam bahasa Bali sering juga disebut Mepandes, Mesangih, atau Metatah, adalah sebuah ritual keagamaan yang merupakan bagian penting dalam tradisi Hindu di Bali. Ritual ini diwajibkan bagi semua umat Hindu di Bali, terutama bagi mereka yang telah memasuki usia remaja. Dalam ajaran Hindu, upacara ini mengandung nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang sangat relevan dan diperlukan selama masa remaja, sebagai sarana dalam pembentukan kepribadian anak yang merupakan kelanjutan dari pembentukan karakter sejak masa bayi dalam kandungan. Tujuannya adalah untuk melahirkan anak yang suputra, yang berarti anak yang baik dan berbudi luhur.
Walikota Rai Mantra menyampaikan bahwa upacara potong gigi (mepandes) yang merupakan bagian dari ritual manusa yadnya dilakukan ketika seorang anak menginjak remaja atau sudah dewasa.
Selama masa remaja, sifat-sifat keraksasaan atau negatif dalam diri individu perlu dinetralisir dan dikendalikan. Upacara Potong Gigi adalah salah satu cara untuk mencapai tujuan ini. Dalam tradisi Hindu, keraksasaan melambangkan sifat-sifat buruk yang perlu diatasi dan dikendalikan. Dengan menjalani upacara ini, diharapkan bahwa sifat-sifat keraksasaan ini dapat berubah menjadi sifat-sifat kebaikan.
Ritual Upacara Potong Gigi telah ada sejak zaman kuno dan terus berkembang hingga saat ini. Di Bali, upacara ini sering dilakukan bersamaan dengan perayaan upacara Ngaben (kremasi), pernikahan, dan Ngeresi (penyucian). Ini menunjukkan betapa pentingnya upacara Potong Gigi dalam budaya dan tradisi Hindu di Bali serta bagaimana ritual ini tetap relevan dalam kehidupan masyarakat Bali hingga saat ini.
Makna Upacara Potong Gigi di Bali
Upacara Potong Gigi memiliki makna yang dalam dan signifikan dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, yaitu menghilangkan enam sifat buruk, yang dalam ajaran Hindu dikenal dengan istilah “sad ripu,” memberikan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai spiritual dan moral yang penting. Kesadaran akan sifat-sifat buruk ini membantu individu dalam perjalanan mereka untuk mengendalikan diri dan mencapai kedewasaan spiritual.
“Sad Ripu ini dapat menjadi ancaman serius bagi kehidupan manusia jika tidak diendalikan dengan baik. Oleh karena itu, manusia Hindu diharapkan untuk mengendalikan Sad Ripu secara optimal agar mencapai kehidupan yang penuh kedamaian” kata Penyuluh Agama Hindu dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tabanan, Made Danu Tirta.
Adapun makna dari enam sifat buruk atau sad ripu sebagai berikut:
Pertama, Kama (nafsu) adalah dorongan atau keinginan yang kuat yang muncul dalam diri seseorang. Nafsu dapat mencakup keinginan seksual, material, atau emosional yang berlebihan. Mengenali dan mengendalikan nafsu adalah langkah penting dalam pencarian kebijaksanaan.
Kedua, Loba (ketamakan) adalah sifat yang tidak pernah puas dengan apa yang dimiliki seseorang. Orang yang tamak selalu ingin lebih banyak, terutama dalam hal harta dan kekayaan. Mengendalikan ketamakan membantu seseorang untuk lebih bersyukur dan puas dengan apa yang mereka miliki.
Ketiga, Krodha (kemarahan) adalah emosi negatif yang muncul ketika seseorang merasa tersinggung, marah, atau frustrasi. Mengendalikan kemarahan adalah penting untuk menjaga hubungan harmonis dan menghindari tindakan impulsif yang merugikan.
Keempat, Mada (mabuk) adalah mengacu pada keadaan mabuk, bukan hanya mabuk alkohol, tetapi juga mabuk kekuasaan, keunggulan, atau kesenangan. Keadaan mabuk ini dapat membuat seseorang kehilangan kendali dan akal sehatnya.
Kelima, Moha (kebingungan) adalah ketidakmampuan untuk melihat kebenaran atau kenyataan dengan jelas. Ini bisa melibatkan ilusi, kebingungan, atau ketidakmampuan untuk memahami dengan benar. Mengenali kenyataan adalah langkah pertama dalam mengatasi kebingungan.
Keenam, Matsarya (iri hati) adalah perasaan kecemburuan atau keinginan untuk memiliki apa yang dimiliki orang lain. Ini bisa mengganggu kedamaian batin dan hubungan sosial.
Mengendalikan perasaan iri hati adalah langkah penting dalam mencapai ketenangan pikiran.
Pemahaman akan keenam sifat buruk ini memungkinkan individu untuk merenungkan perilaku dan emosi mereka, serta berusaha untuk mengendalikannya. Dalam tradisi Hindu, mengatasi sad ripu adalah bagian dari perjalanan spiritual untuk mencapai kesucian dan kedewasaan moral.
Tatacara Pelaksanaan Upacara Potong Gigi di Bali
Upacara Potong Gigi di Bali adalah sebuah peristiwa yang dijalankan dengan seksama dan memiliki serangkaian tata cara yang sangat khusus. Biasanya, upacara ini dilakukan pada pagi hari, setelah matahari terbit, namun, terdapat juga beberapa daerah di Bali yang melaksanakannya pada subuh, sebelum matahari terbit. Pilihan waktu ini dipengaruhi oleh kepercayaan dan tradisi setempat yang berbeda-beda.
Selain waktu pelaksanaannya, pakaian yang dikenakan dalam upacara Potong Gigi juga sangat khusus. Peserta upacara mengenakan pakaian berwarna putih dan kuning. Warna-warna ini memiliki makna simbolis dalam ajaran Hindu di Bali, dengan putih melambangkan kesucian dan kuning melambangkan kebijaksanaan. Pakaian ini mencerminkan keseriusan dan kedalaman makna upacara.
Sehari sebelum pelaksanaan upacara Potong Gigi, seringkali ada upacara persiapan yang disebut mekekeb atau mepingit. Dalam upacara ini, mereka yang akan menjalani Potong Gigi dilarang untuk keluar rumah. Hal ini menggambarkan isolasi diri sebagai bagian dari proses persiapan spiritual dan fisik untuk upacara yang akan datang.
Adapun salah satu aspek penting yang perlu diperhatikan adalah biaya yang terkait dengan Upacara Potong Gigi. Pelaksanaan upacara ini dapat memerlukan dana yang tidak sedikit. Oleh karena itu, beberapa masyarakat Bali sering mengadakan upacara potong gigi secara massal atau metatah massal yang dapat diikuti oleh warga masyarakat yang kurang mampu. Bahkan, ada beberapa desa di Bali yang menjalankan upacara potong gigi massal secara gratis. Hal ini menunjukkan semangat solidaritas dan kepedulian sosial dalam menjaga keberlangsungan tradisi ini serta memastikan bahwa semua orang, tanpa memandang status ekonomi, dapat mengikuti upacara ini dengan layak.
Editor: Ani