Kolom Desa

Memahami Makna Tradisi Nyadran Jelang Ramadan

YOGYAKARTA- Tradisi nyadran merupakan salah satu tradisi yang masih dijalankan dengan kental oleh masyarakat Jawa, terutama masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tradisi ini diadakan sebagai bentuk persiapan menyambut bulan Ramadan yang merupakan bulan suci dalam agama Islam.

 

Sebagai tradisi yang telah diwariskan secara turun-temurun, nyadran menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat Jawa setiap tahunnya. Pelaksanaan nyadran biasanya berlangsung menjelang datangnya bulan Ramadan, yakni pada bulan Ruwah dalam penanggalan Jawa.

 

“Tiap tahun selalu mengunjungi makam bapak dan ibu, sambil membersihkan rumput-rumput dan mendoakan almarhum dan almarhumah bahagia di alam sana,” kata salah satu masyarakat setempat, Afianti (45).

 

Seluruh persiapan untuk nyadran dijalankan dengan penuh semangat dan kebersamaan. Persiapan ini melibatkan seluruh anggota masyarakat, mulai dari pemangku adat, tokoh agama, hingga anggota keluarga dari berbagai generasi. Gotong royong menjadi kunci utama dalam mempersiapkan tradisi ini, di mana setiap warga bahu-membahu membersihkan pemakaman, merapikan kawasan sekitar, dan menyiapkan berbagai sesajen dan makanan untuk acara perayaan.

 

Tradisi nyadran tidak hanya menjadi perayaan keagamaan semata, tetapi juga menjadi ajang menjalin silaturahmi dan memperkuat persaudaraan di antara warga masyarakat. Selama perayaan, seluruh keluarga berkumpul dan bersama-sama berbagi cerita, tawa, dan kebahagiaan. Hal ini menciptakan rasa kebersamaan yang erat dan memperkuat ikatan sosial di antara seluruh anggota masyarakat.

 

Dalam sejarahnya tradisi Nyadran mencerminkan akulturasi budaya Jawa dengan Islam. Ini menunjukkan bagaimana Islam yang masuk ke Jawa pada masa lampau berhasil menyatu dengan kearifan lokal dan kepercayaan nenek moyang. Sehingga, dalam pelaksanaannya, tradisi Nyadran mencerminkan harmonisasi antara nilai-nilai Islam dan adat istiadat Jawa.

 

Pelaksanaan tradisi Nyadran ini biasanya diawali dengan pembersihan dan penyucian makam leluhur. Masyarakat membersihkan dan merapikan area sekitar makam, serta menaburkan bunga dan air wangi sebagai tanda penghormatan. Kemudian, upacara dilanjutkan dengan pembacaan doa dan ziarah ke makam-makam para leluhur.

 

Dalam pelaksanaannya, tradisi Nyadran tetap mengandung nilai-nilai religius dan sosial yang kuat. Masyarakat Jawa percaya bahwa mendoakan leluhur adalah wujud penghormatan dan ungkapan rasa syukur atas segala warisan dan nasihat yang telah mereka berikan. Selain itu, tradisi ini juga memperkuat solidaritas dan persatuan di antara anggota masyarakat.

 

Meskipun zaman terus berubah, tradisi Nyadran tetap dijaga dan diwariskan dari generasi ke generasi. Hal ini membuktikan betapa kuatnya akar budaya dan kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat Jawa. Tradisi Nyadran menjadi bukti nyata bagaimana harmonisasi antara agama dan budaya dapat menghasilkan suatu warisan budaya yang bernilai tinggi dan melekat dalam kehidupan sehari-hari.

Tradisi Nyadran Yogyakarta, Sumber Foto: Info Publik
Tradisi Nyadran Yogyakarta, Sumber Foto: Info Publik

Nilai Sosial Budaya Tradisi Nyadran

 

Tradisi Nyadran adalah lebih dari sekadar ziarah ke makam leluhur, karena mencakup beragam nilai-nilai sosial budaya yang kaya dan mendalam. Setiap tahapannya mencerminkan gotong royong, pengorbanan, aspek ekonomi, menjalin silaturahmi, dan saling berbagi di antara masyarakat di suatu lingkungan. Pelaksanaan Nyadran diwarnai oleh kearifan lokal dari setiap daerah, sehingga terdapat perbedaan-perbedaan dalam prosesinya di berbagai tempat.

 

Salah satu nilai sosial budaya yang sangat kental terasa dalam tradisi Nyadran adalah gotong royong. Seluruh masyarakat dari berbagai keluarga dan lapisan sosial saling bahu-membahu bekerja sama dalam setiap tahapan pelaksanaan Nyadran, seperti membersihkan makam leluhur, menyediakan sesajen, dan mengatur acara perayaan. Gotong royong ini menjadi simbol solidaritas dan persatuan, karena seluruh warga bersatu untuk merayakan dan menghormati leluhur mereka.

 

Pengorbanan juga menjadi bagian integral dalam tradisi Nyadran. Setiap anggota masyarakat dengan tulus mengorbankan waktu dan tenaga untuk memastikan kelancaran acara. Selain itu, dalam pelaksanaan Nyadran, masyarakat juga berbagi pengorbanan dalam hal ekonomi. Mereka secara sukarela menyumbangkan makanan dan bahan-bahan sesajen untuk upacara, menunjukkan semangat saling membantu dan berbagi kebahagiaan dengan sesama.

 

Tradisi Nyadran juga menjadi momentum penting dalam menjalin silaturahmi antaranggota masyarakat. Selama perayaan, seluruh keluarga berkumpul dan berinteraksi, baik di lokasi pemakaman maupun saat makan bersama. Hal ini menciptakan kesempatan bagi mereka untuk memperkuat ikatan emosional dan sosial, serta memperluas jaringan persaudaraan.

 

Nursyamsi (61), salah satu jutu kunci makam di Yogyakarta, mengungkapkan bahwa menjelang Ramadhan, banyak masyarakat yang datang untuk melaksanakan tradisi nyadran di pemakaman tersebut. Bukan hanya warga Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) saja yang hadir, tetapi juga orang dari berbagai provinsi lain di Indonesia turut mengunjungi tempat tersebut.

 

Di setiap daerah, pelaksanaan Nyadran diselenggarakan dengan kearifan lokal yang unik. Beberapa tempat mungkin menambahkan unsur-unsur khas budaya setempat dalam prosesinya. Misalnya, menampilkan berbagai kesenian tradisional sebagai pertunjukan yang memeriahkan acara, seperti tari-tarian, wayang kulit, atau musik tradisional.

 

Selain itu, Nyadran juga memiliki arti penting sebagai tradisi menjelang datangnya bulan Ramadan. Masyarakat Jawa menganggap perayaan Nyadran sebagai momen spiritual untuk memohon berkah dan ampunan dari leluhur, serta sebagai bentuk persiapan diri menghadapi bulan suci Ramadan yang penuh berkah.

 

Secara keseluruhan, tradisi Nyadran menjadi wadah bagi masyarakat untuk menjaga dan melestarikan nilai-nilai sosial budaya yang turun-temurun. Setiap tahun, perayaan Nyadran menjadi momen yang dinanti-nantikan oleh masyarakat Jawa, karena selain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur, juga menjadi ajang kebersamaan, solidaritas, dan persatuan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Tradisi Nyadran Yogyakarta, Sumber Foto: Inilah Jogja

Rangkaian Pelaksanaan Tradisi Nyadran

 

Tradisi Nyadran merupakan rangkaian kegiatan yang kaya akan makna dan nilai-nilai budaya. Berikut ini adalah penjelasan detail tentang setiap kegiatan dalam tradisi Nyadran:

 

1. Besik

 

Besik adalah tahap pertama dalam tradisi Nyadran di mana masyarakat berkumpul di area pemakaman untuk membersihkan makam leluhur dari kotoran dan rerumputan yang menutupi. Kegiatan ini dilakukan dengan gotong-royong, di mana semua warga, termasuk anggota keluarga dari berbagai generasi, bekerja sama membersihkan dan merapikan area sekitar makam. Besik merupakan bentuk penghormatan dan kasih sayang kepada leluhur, serta menjaga agar tempat peristirahatan mereka tetap terjaga kebersihannya.

 

“Disiram pakai gembor (alat yang biasa digunakan untuk penyiram tanaman), saya lap dan saya bersihkan begini,” kata Nursyamsi sambil membersihkan bagian atas makam dengan mengelap menggunakan handuk kecil yang biasa ia gunakan.

 

2. Kirab

 

Setelah prosesi besik selesai, seluruh peserta Nyadran melakukan kirab atau arak-arakan menuju tempat upacara adat dilangsungkan. Peserta kirab biasanya berpakaian khas adat dan membawa bunga, dupa, serta sesajen lainnya sebagai tanda penghormatan lebih lanjut kepada leluhur. Kirab merupakan momen kebersamaan yang penuh kegembiraan, di mana seluruh warga berjalan bersama sambil bernyanyi dan menabuh alat musik tradisional.

 

3. Ujub

 

Ujub adalah rangkaian upacara adat Nyadran di mana pemangku adat menyampaikan maksud dan tujuan dari perayaan Nyadran. Pemangku adat biasanya memimpin jalannya upacara dan menjelaskan makna mendalam di balik setiap tahapannya. Ujub menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk mendapatkan pemahaman lebih dalam tentang arti dan pentingnya tradisi Nyadran dalam kehidupan mereka.

 

4. Doa

 

Kegiatan selanjutnya adalah doa bersama yang dipimpin oleh pemangku adat. Dalam doa ini, masyarakat bersama-sama menghaturkan permohonan ampunan dan berdoa kepada roh leluhur yang sudah meninggal. Doa merupakan momen yang sakral dan penuh kekhidmatan, di mana masyarakat menyampaikan rasa syukur dan harapan agar leluhur mereka diberkahi dan diterima di alam barzakh.

 

5. Kembul Bujono dan Tasyukuran

 

Setelah upacara doa selesai, tradisi Nyadran dilanjutkan dengan makan bersama yang disebut “Kembul Bujono.” Setiap keluarga yang mengikuti kenduri Nyadran membawa makanan tradisional sebagai sajian. Makanan yang dibawa beragam, seperti ayam ingkung, sambal goreng ati, urap sayur, tempe dan tahu bacem, dan makanan tradisional lainnya.

Tradisi Nyadran Yogyakarta, Sumber Foto: Kemenag

Setelah masyarakat berkumpul dan makanan diletakkan di depan untuk didoakan oleh pemuka agama, makanan tersebut ditukar menukar antara keluarga satu dengan yang lainnya. Tujuannya adalah untuk saling berbagi berkah dan mempererat hubungan sosial antarwarga.

 

Kembul Bujono menjadi waktu yang tepat bagi seluruh masyarakat untuk berinteraksi, berbagi cerita, dan saling mengakrabkan diri. Selama acara makan bersama, suasana dipenuhi dengan tawa, canda, dan kebahagiaan, menandakan kebersamaan yang erat dalam tradisi Nyadran.

 

Secara keseluruhan, tradisi Nyadran tidak hanya merupakan perayaan keagamaan semata, tetapi juga mencerminkan kearifan lokal, gotong-royong, dan rasa kebersamaan yang tinggi dalam masyarakat Jawa. Tradisi ini menjadi bagian penting dari identitas budaya dan spiritualitas masyarakat, serta menjadi sarana untuk mempertahankan dan melestarikan warisan budaya leluhur bagi generasi mendatang.

 

Editor: Ani

Exit mobile version