MANGGARAI – Desa Wisata Wae Rebo terletak di Kabupaten Manggarai Barat, Flores. Desa ini masuk dalam ragam kekayaan tradisi yang ada di Nusa Tenggara Timur yang masih mempertahankan tradisionalitas kehidupan masyarakatnya.
Pada tahun 2012 UNESCO menetapkan Desa Wae Rebo menjadi satu- satunya desa yang meraih penghargaan Top Award of Excellences. Penghargaan itu diberikan dalam sebuah acara Asia Pacific Heritage Award.
Ketua Lembaga Pelestarian Budaya (LPBW) Wae Rebo Michael mengatakan, hingga saat ini pengelolaan Desa Wisata Wae Rebo dilakukan terpusat oleh LPBW yang bekerjasama dengan pemerintah setempat. Selain itu, desa ini juga mendapat bimbingan tentang pariwisata oleh Indonesia Ecotourism Network.
Miliki Rumah Adat Mbaru Niang
Selain berada di ketinggian, Desa Wae Rebo memiliki tujuh rumah adat yang menjadi ikon. Rumah adat yakni mbaru niang yang berbentuk kerucut. Atapnya dibangun menggunakan daun lontar dengan struktur yang hampir menyentuh tanah.
Mbaru Niang adalah rumah dengan struktur cukup tinggi, berbentuk kerucut yang keseluruhannya ditutup ijuk. Rumah ini memiliki lima tingkat dan terbuat dari kayu worok, dan dibangun tanpa paku. Namun menggunakan tali rotan.
Dalam satu rumah Mbaru Niang dihuni oleh enam hingga delapan keluarga. Lalu, setiap ruangan memiliki fungsi yang berbeda- beda. Tingkat pertama disebut lutur. Tingkatan ini digunakan untuk tempat tinggal dan berkumpul dengan keluarga.
Tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang- barang sehari- hari. Tingkat ketiga disebut lentar. Bagian ini berfungsi untuk menyimpan tanaman pangan, seperti benih jagung, padi dan kacang- kacangan.
Adapun tingkatan keempat disebut sebagai lempa rae. Tempat ini digunakan sebagai tempat menyimpan stok pangan apabila terjadi kekeringan. Adapun tingkat kelima adalah hekang kode, yakni tempat untuk sesaji persembahan kepada leluhur.
Daya tarik selanjutnya dari Desa Wae Rebo adalah tradisi melestarikan alam sekitar. Bahkan pada bulan April-Agustus, para wisatawan bisa memetik buah jeruk yang ditanam oleh masyarakat Desa Wae Rebo.
Hadirkan Atraksi Budaya bernama ‘Penti’
Destinasi desa wisata Wae Rebo makin komplit dengan adanya event besar tradisional bernama ‘Penti’. Penti adalah ucapan terimakasih kepada Tuhan dan leluhur atas berkah dan rezeki yang telah diberikan. Sekaligus upacara syukuran panen serta menyambut tahun baru.
“Tradisi Penti dilaksanakan 1 tahun sekali, diadakan setiap tanggal 16 November. Bagi orang Wae Rebo, 16 November adalah tahun baru (menurut kalender tradisional),” jelasnya.
Lebih lanjut, Michael menjelaskan pada saat upacara penti biasanya dimeriahkan dengan musik dan tarian tradisional yang dinamai ‘Tarian Caci’. Tarian caci merupakan tarian perang masyarakat Manggarai.
Hal yang menarik dari tarian ini adalah warga yang ikut serta akan memakai pakaian dan atribut khusus khas Manggarai. Para penari Caci ini juga membawa cambuk dan tameng, menari mengikuti alunan musik, walau badan mereka berdarah. Tarian caci ini sendiri mengandung makna, di mana dalam menghadapi persoalan hidup kita tidak boleh menyimpan dendam dan amarah walaupun telah disakiti.
Dimensi Folklor Desa Wae Rebo
Keunikan selanjutnya dari Desa Wae Rebo adalah sejarah awal mula kehidupan di desa tersebut. Nenek moyang penduduk Desa Wae Rebo berasal dari Minangkabau, Provinsi Sumatera Barat. Mereka tidak langsung menetap di Desa Wae Rebo. Tetapi melalui proses perpindahan dari satu desa ke desa lainnya di NTT.
Di Desa Wae Rebo juga terdapat rumah adat yang hanya terdiri dari tujuh unit. Rumah adat itu telah bertahan selama 19 generasi yang dinamai Mbaru Niang. Hal inilah yang menjadi daya tarik para wisatawan khususnya dari mancanegara.
Selain rumah adat yang menjadi daya tarik, kehidupan masyarakatnya juga sangat menarik untuk diketahui. Sebagian masyarakat bertani dan wanitanya membuat tenun. Perpaduan kearifan budaya lokal dengan tujuh rumah adat yang terletak di puncak bukit nan hijau membuat tempat ini layaknya surga di atas awan.
Harga Tiket Masuk, Produk dan Fasilitas Desa Wisata Wae Rebo
Menurut Michael, Ketua LPBW mengatakan, bahwa tarif atau biaya masuk dalan wisata Wae Rebo adalahk 325.000/pax untuk wisawatan yang menginap dan 200.000/pax untuk tamu pulang-pergi. Jam operasional Desa Wisata Wae Rebo berlangsung setiap hari.
“Jam operasional Waerebo setiap hari, batas pendakian dari pos 1 Wae lomba jam 4 sore,” tuturnya.
Michael juga menambahkan bahwa Desa Wisata Wae Rebo memiliki produk kopi khas. Diantaranya adalah kopi Arabika, Robusta, Kolombia dan Luwak. Masing- masing dibandrol dengan harga Rp 60 Ribu hingga Rp 100 Ribu setiap 200 gr. Selain itu, Desa Wae Rebo juga memproduksi kain tenun, yakni sarung Songke dan sarung Surak. Masing- masing dibandrol dengan harga Rp 600 Ribu – Rp 500 Ribu.
Omset dan Trafik Pengunjung Desa Wisata Wae Rebo
Omset dan wisatawan di Desa Wisata Wae Rebo terus menaik secara signifikan pasca pandemi. Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, jumlah pengunjung pada 15-31 Desember 2022 yakni 356 pengunjung. Lalu ditambah total tamu PP yakni 88 wisatawan. Sehingga total tamu yang ada adalah 443, dengan rincian 342 wisatawan lokal dan wisatawan asing sebanyak 102.
Selanjutnya, pada Januari 2023 jumlah tamu yang menginap berjumlah 317 wisatawan, dengan jumlah wisatawan PP sebanyak 71. Sehingga total wisatawan yang berkunjung adalah 388. Terdiri dari 294 wisatawan lokal dan 94 wisatawan sing. Adapun total omzet yang didapat adalah Rp 117. 225 Juta.
Lalu, pada bulan Februari 2023 tamu menginap berjumlah 250dan tamu PP 76, total tamu yang berkunjung adalah 326. Rinciannya 228 wisatawan lokal dan asing 98 dan total omset 96.450.000.
Akses Menuju Desa Wae Rebo
Untuk sampai di Desa Wae Rebo, para wisatawan atau pengunjung harus melalui tracking yang lumayan jauh dan berat. Kendaraan bermotor tidak memungkinkan untuk melintasi jalanan menuju desa. Sebab, lokasi Desa Wae Rebo berada di puncak gunung, berada di ketinggian 1200 meter di bawah permukaan laut.
Pengunjung harus melakukan trekking sekitar 2 jam perjalanan, menyusuri jalur yang masih alami, dan akan terus menanjak. Para wisatawan disarankan untuk menyewa jasa penunjuk jalan. Karena di jalur tracking terdapat jalan yang bercabang.
Terdapat tiga pos yang harus dilalui. Dan di pos terakhir, para pengunjung tidak bisa langsung masuk begitu saja ke Desa Wae Rebo. Terdapat beberapa aturan yang mesti dipatuhi. Salah-satunya harus membunyikan sebuah alat tradisional yang terbuat dari bambu, yang bernama Pepak. Bentuknya sama persis dengan kentongan.
Membunyikan alat tersebut menjadi sebuah isyarat bahwa Desa Wae Rebo sedang kedatangan tamu. Sebuah tradisi yang unik, jauh berbeda dengan nuansa hidup di kota besar.