DENPASAR – Desa Les Kecamatan Tajakula merupakan salah satu BUMDes penghasil garam di Bali. Untuk bisa menjangkau pasar Internasional, BUMDes Les berencana akan memproduksi garam dengan beragam varian rasa yang fungsinya tidak hanya untuk bumbu masak. Namun juga dapat digunakan oleh pijat SPA untuk relaksasi.
“Inovasi ini dilakukan agar garam yang dihasilkan oleh petani tidak hanya laku terjual di pasar tradisional. Namun juga mampu merambah hingga ke restoran, spa, serta dapat dijadikan sebagai buah tangan untuk wisatawan,” kata Ketua BUMDes Desa Les, Ketut Agus Winaya, Selasa, (31/1/2023).
Winaya mengatakan, untuk memproduksi garam yang memiliki aneka varian itu dibutuhkan proses yang cukup panjang. Ia mencontohkan proses pembuatan garam kelor yang juga diproduksi oleh masyarakat setempat.
Dalam prosesnya, daun kelor dan garam harus disangrai terlebih dahulu, agar kadar airnya berkurang. Setelah kering, daun kelor kemudian diblender, lalu dicampur dengan garam sambil disangrai kembali. Tujuannya agar membuat garam lebih praktis dan tahan lama.
“Garamnya harus benar-benar kering, agar saat dikemas tidak berair dan lengket,” jelasnya.
Wiyana yang juga ketua Sentra Petani Garam Desa Les itu menambahkan, dalam satu bungkus garam rasa dengan isi 250 gram dibandrol dengan harga Rp 40 ribu. Dalam sekali produksi, ia mampu membuat 5 kilogram dengan berbagai varian rasa.
Omsetnya bisa mencapai Rp 500 Ribu per bulan. Menurutnya, jumlah tersebut masih terbilang sedikit, mengingat saat ini pihaknya masih kesulitan untuk memasarkan produk inovasi tersebut.
“Kami belum ketemu pasarnya. Baru dijual di sekitar Desa Les saja. Kemudian produk garam rasa ini kami juga tawarkan untuk oleh-oleh. Kalau restoran atau hotel sekitar desa juga belum bisa masuk mungkin dirasa masih terlalu mahal 250 gram, harganya Rp 40 ribu,” ujar dia.
Seperti diketahui, di Desa Les sendiri hasil pertanian garam cukup melimpah. Setiap petani garam rata-rata per hari dapat menghasilkan 35 kilogram garam tradisional.
Penulis : Danu | Editor : Ani